SELAMAT DATANG DI PERSONAL BLOG ASEVY SOBARI

PKPU dan Kepailitan, Korporasi, HAKI, Pertanahan, Persaingan Usaha, Ketenagakerjaan, Keuangan Islam

PARTNER PADA FIRMA HUKUM ISNP LAWFIRM

ISNP LAWFIRM. Office: Summarecon - Bekasi, Rukan Sinpansa Blok D.20, Marga Mulya - Bekasi Utara 17143, Tlp. 0812.9090.4694, WA. 0812.8309.0895

ANGGOTA PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA (PERADI)

Diangkat dan disumpah berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

KONSULTASI HUKUM DENGAN PERJANJIAN: 0812-8309-0895 (WA)

Legal Consultation, Legal Opinion, Legal Drafting, Legal Assistant (Retainer), Litigation

KONSULTASI HUKUM DENGAN PERJANJIAN: 0812-8309-0895 (WA)

Legal Consultation, Legal Opinion, Legal Drafting, Legal Assistant (Retainer), Litigation

Laman

Minggu, 19 Juni 2016

ISTILAH HAK ISTIMEWA DALAM KUH PERDATA

Istilah hak istimewa disebut pada pasal-pasal KUH Perdata +/- 39 kali. 

Pengertian Hak Istimewa akan kita dapati pada Pasal 1134 KUH Perdata "Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya."

Dari definisi yang diberikan pasal diatas, hak istimewa:
1. Diberikan oleh UU kepada kreditur
2. Menyebabkan kedudukan kreditur penerima hak istimewa lebih tinggi dari pada (kreditur) yang lainnya semata2 berdasarkan sifat piutang itu
3. Kedudukannya dibawah gadai dan hipotik
4. Kedudukannya dapat lebih tinggi dari gadai dan hipotik dalam hal UU dengan tegas menentukan demikian.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm. 

Jumat, 11 Maret 2016

PERMA 1/2016: PARA PIHAK WAJIB MENGHADIRI PERTEMUAN MEDIASI

Pada bulan Februari 2016 Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan kehakiman menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan ("Perma Mediasi").

Salah satu ketentuan yang cukup penting adalah perihal kewajiban kehadiran para pihak atau prinsipal dalam pertemuan mediasi. 

Pasal 6 ayat (1) "Para Pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum." Ketentuan ini tegas mewajibkan para pihak atau prinsipal, baik penggugat maupun tergugat untuk menghadiri langsung pertemuan mediasi, tidak mempermasalahkan apakah kuasa hukum ikut mendampingi atau tidak ikut mendampingi prinsipal dalam pertemuan mediasi. 

Berbeda dengan Perma Mediasi sebelumnya yaitu Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan yang tidak kita dapati secara redaksional kewajiban bagi Para Pihak atau Prinsipal untuk menghadiri secara langsung pertemuan mediasi.

Pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 "Hakim, Mediator, dan Para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini." Jadi secara redaksional kewajiban untuk "mengikuti prosedur mediasi" yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008 bukan untuk menghadiri secara langsung pertemuan mediasi.

Pasal 7 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2008 "Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi."

Pasal 7 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 "Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak mendorong para pihak, untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi." Pada pasal ini juga tidak terdapat redaksional yang tegas bagi para pihak untuk hadir secara langsung dalam pertemuan mediasi, hanya berupa dorongan dari hakim, itu pun mendorongnya bisa hanya melalui perantara kuasa hukum untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi, jadi titik tekannya pada peran dan keaktifan bukan pada kehadiran pada pertemuan mediasi. 

Begitu pula bunyi Pasal 7 ayat (3) yang kurang lebih sama yang mewajibkan kuasa hukum untuk mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.

Pada Perma Mediasi diatur bahwa ketidakhadiran merupakan salah satu sebab yang dapat mengakibatkan pihak yang tidak hadir dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi oleh mediator.

Dalam hal penggugat dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi maka oleh hakim pemeriksa perkara gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima dan biaya mediasi dibebankan kepada penggugat (vide pasal 22 Perma Mediasi).

Dalam hal tergugat yang dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi maka dalam hal gugatan dimenangkan oleh penggugat maka biaya mediasi dibebankan kepada tergugat. Apabila gugatan dimenangkan oleh Tergugat maka biaya mediasi juga dibebankan kepada tergugat sedangkan biaya perkara dibebankan kepada penggugat. (vide Pasal 23 Perma Mediasi)

Dalam hal Para Pihak secara bersama-sama (penggugat dan tergugat) dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara tanpa penghukuman Biaya Mediasi. (vide Pasal 23 Perma Mediasi)

Jumat, 10 April 2015

RUPS PENGAMBILALIHAN PT


Pada artikel ini akan didapatkan gambaran mengenai kuorum pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pengambilalihan mulai dari RUPS Pertama hingga RUPS Ketiga.

Pada dasarnya UUPT mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam RUPS Pengambilalihan. Artinya UUPT menghendaki seluruh pemegang saham perseroan dengan hak suara mengusahakan terlebih dahulu untuk mengambil keputusan dengan jalan musyawarah untuk mufakat, jadi tidak serta merta langsung ditempuh mekanisme pemungutan suara atau voting. Semangat inilah yang diharapkan meliputi pelaksanaan pengambilan keputusan dalam RUPS Pertama, RUPS Kedua, dan RUPS Ketiga.

Artinya tentu bukan berarti jika musyawarah untuk mufakat tidak tercapai tidak tersedia jalan lain dalam pengambilan keputusan (voting). 

Dalam hal pengambilan keputusan ditempuh melalui voting maka UUPT menentukan batas minimal suara yang dikeluarkan untuk menyetujui sebuah keputusan dalam RUPS Pertama dan RUPS Kedua. 

Batas minimal tersebut merupakan ambang batas minimal, artinya perseroan dapat atau diperbolehkan untuk menentukan ambang batas yang lebih tinggi. Dimana hal tersebut harus dicantumkan dan ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan.

Bilamana ambang batas tersebut tidak ditentukan lebih tinggi dari pada yang ditentukan dalam UUPT dalam anggaran dasar sebuah perseroan maka otomatis yang berlaku adalah sebagaimana yang ditentukan dalam UUPT.

Sabtu, 01 November 2014

PUTUSNYA PERKAWINAN

Putusnya perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada pasal 38 yang berbunyi:
"Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan".

Secara sederhana putus artinya tidak tersambung lagi atau tidak ada hubungan lagi dari yang sebelumnya tersambung atau terhubung. Dalam konteks perkawinan maka putusnya perkawinan artinya tali perkawinan telah tidak tersambung lagi atau tidak terhubung lagi, singkatnya hubungan suami dan istri telah berakhir.

Bunyi pasal 38 UU Perkawinan diatas menerangkan dan menentukan hal-hal apa saja  yang dapat atau bisa menyebabkan putusnya perkawinan, yakni: karena kematian, karena perceraian, dan karena putusan pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian terjadi karena salah satu pihak dalam perkawinan meninggal dunia apakah itu suami atau istri, mana yang lebih dulu atau pun para pihak suami dan istri secara bersamaan meninggal dunia.

Putusnya perkawinan karena kematian merupakan kejadian yang berada diluar kehendak atau kuasa dari para pihak dalam perkawinan. Tidak terdapat campur tangan dari pasangan yang hidup lebih lama ataupun campur tangan pengadilan dalam hal ini. Putusnya perkawinan karena kematian sepenuhnya merupakan kehendak atau kuasa dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Putusnya perkawinan karena kematian lazim disebut dalam masyarakat kita dengan istilah cerai mati.

Selanjutnya putusnya perkawinan dapat disebabkan karena adanya perceraian. Berdasarkan UU Perkawinan tersebut maka perceraian hanyalah salah satu penyebab putusnya perkawinan, bukan satu-satunya penyebab putusnya perkawinan.

Biasanya dalam masyarakat putusnya perkawinan karena perceraian akan lebih mendapatkan perhatian dibandingkan meninggalnya salah satu pihak atau para pihak sebagai sebab putusnya perkawinan.

Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi baik atas keinginan suami atau istri. Ini artinya baik suami atau istri memiliki hak yang sama dalam mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan yang berwenang mengadili, memeriksa dan memutus gugatan perceraian tersebut.

Apabila gugatan perceraian telah diajukan oleh suami atau istri ke pengadilan yang berwenang, maka selanjutnya pengadilanlah yang berwenang memeriksa dan memutus apakah gugatan tersebut cukup beralasan untuk dikabulkan atau tidak.

Yang terakhir penyebab putusnya perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan adalah karena putusan pengadilan. Apa yang dimaksud dengan "atas putusan pengadilan" itu sendiri tidak kita temui penjelasannya dalam UU Perkawinan atau pun pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975). Hal ini tentu saja membingungkan. Mengapa? Karena bukankah dalam frasa "atas putusan pengadilan" sudah pula meliputi perceraian yang memang dengan putusan pengadilan.

Ada pula yang mencoba menafsirkan "atas putusan pengadilan" dimaksud adalah pembatalan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat 1 UU Perkawinan  yang berbunyi "Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan" dan pasal 38 PP 9/1975 yang berbunyi "Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan". Walaupun jika kita perhatikan agak kurang tepat jika kita bandingkan pengertian putusnya perkawinan dengan batalnya perkawinan. Karena pada putusnya perkawinan setelah putusan putusnya perkawinan maka perkawinan yang telah terjadi sebelum putusan tetap dianggap secara sah telah terjadi sementara pada batalnya perkawinan setelah putusan pengadilan maka perkawinan yang terjadi sebelumnya dianggap batal atau tidak pernah terjadi.

Selanjutnya jika memang tafsiran "atas putusan pengadilan" dimaksud adalah batalnya perkawinan lalu mengapa pasal 38 UU Perkawinan tidak dengan tegas-tegas saja menggunakan frasa batalnya perkawinan sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan dibanding menggunakan frasa atas putusan pengadilan?

Selasa, 19 Agustus 2014

PENITIPAN BARANG

Tulisan kali ini akan mengupas sedikit tentang Pasal 1694 KUHPerdata tentang Penitipan Barang.

Pasal 1694 KUHPerdata "Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama."

Point yang dapat kita ambil dari Pasal 1694 KUHPerdata diatas:
  1. Penitipan Barang baru terjadi bila calon penerima titipan setuju untuk dititipi barang. Tanpa persetujuan dari penerima titipan maka penitipan barang tidak terjadi. Karena dgn ada/tdk nya persetujuan sama dgn ada/tidaknya beban tanggung jawab penerima titipan terhadap pemberi titipan.
  2. “barang” yang dititipkan kepada penerima titipan adalah milik orang lain. Milik orang lain dapat berarti milik si pemberi titipan atau bisa juga milik pihak ketiga (selain dari si pemberi titipan). Pastinya barang yang dititipkan bukan milik si penerima titipan. Kalau milik si penerima titipan itu namanya mengembalikan barang bukan menitipkan barang.
  3. Barang titipan untuk disimpan oleh penerima titipan. Tidak untuk dipakai.
  4. Barang titipan dikembalikan dalam keadaan yang sama kepada pemberi titipan sebagaimana kondisi saat barang titipan diterima. Dapat juga barang titipan tidak dikembalikan ke si pemberi titipan semula tetapi kepada kuasa/wakil si pemberi titipan asalkan hal tersebut diperjanjikan secara jelas sebelumnya.

Pasal 1695 KUHPerdata “Ada 2 (dua) jenis penitipan barang yaitu: penitipan murni (sejati) dan sekestrasi (penitipan dalam perselisihan).” Seolah-olah ada penitipan yg murni dan ada penitipan yang tdk murni. Ada penitipan yang sejati dan penitipan tidak sejati.

Penitipan murni dianggap Cuma-Cuma bila tidak diperjanjikan sebaliknya dan hanya untuk barang bergerak. Jadi bila si pemberi titipan dan si penerima titipan tidak ada pembicaraan dan kesepakatan perihal “biaya” maka penitipan tersebut adalah Cuma-Cuma atau tanpa biaya.

Penitipan Sekestrasi: 

  1. Penitipan barang yang berada dalam persengketaan kepada orang lain
  2. Orang lain yang dititipkan tersebut mengikatkan diri untuk mengembalikan barang itu dengan semua hasilnya kepada yang berhak. 
  3. Barang dikembalikan kepada yang berhak setelah perselisihan diputus oleh Pengadilan. 
  4. Penitipan ini terjadi karena perjanjian atau karena perintah Hakim.

Penitipan Sekestrasi untuk barang bergerak dan barang tidak bergerak. Penitipan murni untuk barang bergerak saja.

Penitipan Sekestrasi terjadi karena perjanjian atau karena perintah hakim. Penitipan murni adalah karena perjanjian saja.

Perjanjian maksudnya:

  1. Pada Penitipan Murni: Antara si pemberi titipan dengan si penerima titipan.
  2. Pada Penitipan Sekestrasi: antara pihak yang bersengketa dengan si penerima titipan yang disepakati pihak yang bersengketa.

Jadi dalam Penitipan Sekestrasi karena perjanjian si pemberi titipan adalah pihak yang bersengketa.

Penitipan karena perintah hakim hanya dikenal dalam Penitipan sekestrasi tidak dalam penitipan murni. Repot juga ya jika ada penitipan murni karena hakim?

Repot juga bila ingin menitipkan mobil/motor harus ada hakim/penetapan hakim.

Minggu, 17 Agustus 2014

PENAMBAHAN MODAL DASAR

Pengaturan secara umum tentang penambahan modal perseroan terdapat pada Pasal 41 ayat 1 UUPT yang menyatakan "Penambahan modal Perseroan dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS."

"Penambahan modal..." dimaksud adalah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Dengan demikian apabila perseroan ingin melakukan penambahan modal, dalam hal ini adalah penambahan modal dasar maka terlebih dahulu disetujui oleh forum RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).

Selanjutnya secara khusus Pasal 42 ayat 1 UUPT mengatur perihal sah tidaknya keputusan RUPS untuk penambahan modal dasar "Keputusan RUPS untuk penambahan modal dasar adalah sah apabila dilakukan dengan memperhatikan persyaratan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar."

Berapakah "persyaratan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar" dalam rangka penambahan modal dasar?

Untuk menjawab pertanyaan diatas kita harus melihat Pasal 88 ayat 1 UUPT "RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar."

Dari Pasal 88 ayat 1 UUPT diatas kita dapati:
1. Kuorum kehadiran RUPS dalam rangka penambahan modal dasar ditentukan "paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili";
2. Keputusan RUPS untuk menyetujui penambahan modal dasar "adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan";
3. Anggaran dasar dapat menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Artinya UUPT menentukan batas minimal yang harus dipenuhi dan anggaran dasar perseroan dapat mengatur lebih dari batas minimal yang terdapat dalam UUPT. Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud pada 88 ayat 1 UUPT diatas tidak tercapai, dapat diselenggarakan RUPS kedua ~ vide Pasal 88 ayat 2 UUPT.

Perubahan anggaran dasar dalam rangka Penambahan Modal dasar merupakan hal yang harus mendapatkan persetujuan menteri, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UUPT.

Pasal 21 ayat 1 UUPT "Perubahan anggaran dasar tertentu harus mendapat persetujuan Menteri."

Pasal 21 ayat 2 UUPT "Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 

a. nama Perseroan dan/atau tempat kedudukan Perseroan; 

b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; 

c. jangka waktu berdirinya Perseroan; 

d. besarnya modal dasar

e. pengurangan modal ditempatkan dan disetor; dan/atau 

f. status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya."


Selanjutnya pada Pasal 33 ayat 1 UUPT "Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh." Terkait dengan penambahan modal dasar maka dalam hal modal dasar perseroan sebelumnya adalah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan setelah dilakukan penambahan modal dasar menjadi Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) maka berdasarkan Pasal 31 ayat 1 UUPT modal ditempatkan dan disetor penuh yg sebelumnya Rp 12.500.000,- (25% dari Rp 50.000.000,-) setelah dilakukan penambahan modal dasar menjadi Rp 25.000.000,- (25% dari Rp 100.000.000,-). Jadi pemegang saham tinggal menyetor penuh Rp 12.500.000,- lagi untuk memenuhi Pasal 33 ayat 1 UUPT.

Yang perlu diperhatikan adalah terjadinya penambahan modal ditempatkan dan modal disetor disini adalah dalam rangka perubahan penambahan modal dasar bukan penambahan modal ditempatkan dan disetor penuh yang dilakukan tanpa perubahan penambahan modal dasar. Jadi penambahan modal ditempatkan dan disetor penuh disini adalah untuk memenuhi ketentuan minimal UUPT.

Dalam hal penambahan modal ditempatkan dan disetor penuh yang dilakukan tanpa perubahan penambahan modal dasar adalah untuk memenuhi keputusan RUPS bukan untuk memenuhi ketentuan minimal UUPT (karena ketentuan minimal telah/sudah terpenuhi).

Dan ketentuan kuorum dan keputusan RUPS dalam rangka penambahan modal ditempatkan dan disetor penuh yang dilakukan tanpa perubahan penambahan modal dasar adalah sebagaimana Pasal 42 ayat 2 UUPT "Keputusan RUPS untuk penambahan modal ditempatkan dan disetor dalam batas modal dasar adalah sah apabila dilakukan dengan kuorum kehadiran lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari seluruh jumlah saham dengan hak suara dan disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh suara yang dikeluarkan, kecuali ditentukan lebih besar dalam anggaran dasar." 














Minggu, 27 Juli 2014

PENGGABUNGAN PERSEROAN TERBATAS

Pasal 1 angka 9 UUPT "Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum."

Dalam penggabungan perseroan (merger) terdapat perseroan yang menggabungkan diri dan perseroan yang menerima penggabungan.... lanjut membaca


Sabtu, 24 Mei 2014

GADAI (Pand)



Pasal 1150 KUHPerdata Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seseorang lain atas namanya, dan yang memberi kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang  tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya...”

Dari definisi yang diberikan oleh Pasal 1150 KUHPerdata tersebut maka dapat kita sarikan sebagai berikut:

Gadai adalah suatu hak

Hak yang dimaksud adalah hak kebendaan yang memberikan jaminan. Jaminan kepada si berpiutang (kreditur) untuk memanfaatkan benda tersebut jika si berutang (debitur) wanprestasi. Pasal 528 KUHPerdata Atas suatu barang, orang dapat mempunyai hak besit atau hak milik atau hak waris atau hak menikmati hasil atau hak pengabdian tanah, atau hak gadai atau hak hipotek.

Diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seseorang lain atas namanya

“Diperoleh seorang berpiutang” bermakna bahwa hak gadai hanya dapat diperoleh oleh si berpiutang tidak oleh si berutang, dengan demikian  maka gadai diadakan untuk kepentingan kreditur bukan untuk kepentingan debitur. Kepentingan apa? Kepentingan pelunasan segala piutang kreditur bila debitur wanprestasi terhadap perjanjian yang dibuatnya dengan kreditur.
-  “atas suatu barang bergerak” berarti bahwa lembaga gadai berlaku hanya untuk barang bergerak (disamping fidusia), tidak berlaku untuk barang tidak bergerak. Untuk barang tidak bergerak maka lembaga hukum yang mengaturnya adalah hak tanggungan (dahulu hipotik).
-  “yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya” maksudnya adalah objek gadai diserahkan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai (kreditur). Dari bunyi redaksi tampak jelas bahwa si pemberi gadai dalam melakukan penyerahan objek gadai tidaklah harus debitur tetapi dapat juga orang lain (pihak ketiga) yang melakukan penyerahan atas nama/kuasa dari si debitur.

Memberi kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang  tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya

Bahwa dalam hak gadai mengandung asas prioritas (droit de preference), yaitu hak kebendaan yang dimiliki kreditur (penerima gadai) untuk didahulukan dalam pemenuhan piutangnya diatara kreditur-kreditur lainnya dari hasil penjualan harta benda yang dijadikan objek gadai.

Pasal 1133 KUHPerdata Hal untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotek.

Pasal 1134 KUHPerdata Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya

Bagaimana jika objek gadai tidak cukup untuk menutupi seluruh hutang debitur? Dalam hal ini kreditur dapat menuntut sisa hutang untuk dipenuhi dari kebendaan lain yang dimiliki debitur, hanya saja kali ini kedudukan kreditur  terhadap kreditur-kreditur lainya (jika ada) memiliki kedudukan sama (concurent) dimana kreditur dan kreditur-kreditur lainya mendapatkan pemenuhan pelunasan piutang yang dimiliki secara seimbang.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm

Minggu, 04 Mei 2014

HIBAH (SCHENKING)



Definisi hibah kita merujuk kepada Pasal 1666 KUHPerdata, yang berbunyi “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”

Dalam mendefinisikan hibah KUHPerdata secara langsung menyebutkan bahwa hibah adalah suatu perjanjian. Perihal perjanjian telah saya ulas secara ringkas pada tulisan saya yang lain.

Frasa “diwaktu hidupnya” bermakna bahwa hibah hanya dapat dilakukan oleh si penghibah (pemberi hibah) pada saat hidupnya. Hal mana pada satu segi memiliki kesamaan dengan wasiat atau testamen.

Perbedaannya adalah wasiat (testamen) yang merupakan suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya (pen: saat masih hidup) akan terjadi setelah ia meninggal dunia, sedangkan hibah adalah tentang apa yang si penghibah nyatakan dan serahkan kepada si penerima hibah pada saat si penghibah masih hidup.

“dengan cuma-cuma” bermakna bahwa pada perjanjian hibah ini hanya ada prestasi dari satu pihak saja yakni dari si penghibah dengan memberikan benda yang menjadi objek hibah kepada si penerima hibah. Sementara si penerima hibah tidak ada memberikan kontra prestasi atau prestasi balasan kepada si penghibah. Meskipun makna ini masih mengundang perdebatan terkait dengan Pasal 1670 KUHPerdata yang menyatakan “Suatu hibah adalah batal, jika dibuat dengan syarat bahwa si penerima hibah akan melunasi utang-utang atau beban-beban lain, selain yang dinyatakan dengan tegas di dalam akta hibah sendiri atau di dalam suatu daftar yang ditempelkan padanya.”

“dengan tidak dapat ditarik kembali” dapat kita tafsirkan bahwa setelah dilakukan penyerahan benda yang menjadi objek hibah maka si penghibah tidak dapat menarik kembali objek hibah tersebut dari si penerima hibah. Pasal 1686 KUHPerdata “Hak milik atas benda-benda yang termaktub dalam penghibahan, sekalipun penghibahan itu telah diterima secara sah, tidaklah berpindah kepada si penerima hibah, selain dengan jalan penyerahan yang dilakukan menurut Pasal 612, 613, 616 dan selanjutnya.”

Pengecualian terhadap “dengan tidak dapat ditarik kembali” berlaku jika (vide Pasal 1688 KUHPerdata):
1.  Karena tidak dipenuhinya syarat-syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan;
2.  Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah;
3.  Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan;

Terkait penarikan kembali ini pula Pasal 1672 KUHPerdata mengatur secara optional bahwa “Si penghibah dapat memperjanjikan bahwa ia tetap berhak mengambil kembali benda-benda yang telah diberikannya, baik dalam halnya si penerima hibah sendiri, maupun dalam halnya si penerima hibah beserta turunan-turunannya akan meninggal lebih dahulu daripada si penghibah; tetapi itu tidak dapat diperjanjikan selain hanya untuk kepentingan si penghibah sendiri.”

“menyerahkan sesuatu benda” dapat kita tafsirkan melalui Pasal 1667 yang mengatur bahwa “Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada. Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari, maka sekadar mengenai itu hibahnya adalah batal.”

Dengan demikian maka hibah hanya berlaku sah terhadap benda yang sudah ada. Sudah ada maksudnya bahwa benda yang menjadi objek hibah sudah berada dalam kekuasaan/kepemilikan si penghibah dengan alas hak yang sah. Hibah yang dilakukan terhadap benda yang baru akan ada dikemudian hari (belum ada saat ini) dengan ancaman batal.

Bagaimana apabila hibah dilakukan dengan objek hibah yang terdiri dari benda yang sudah ada dan benda yang baru akan ada? Berdasarkan Pasal 1667 KUHPerdata diatas maka terhadap benda yang sudah ada adalah sah sedangkan terhadap benda yang baru akan ada adalah tidak sah.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm.

Kamis, 01 Mei 2014

PERJANJIAN, PERIKATAN, DAN KONTRAK

Perjanjian

Istilah Perjanjian kita dapati pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mendefinisikannya sebagai“suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Terdapat 2 point yang dapat kita ambil dari definisi Pasal 1313 KUHPerdata diatas yaitu:
1.  Perjanjian adalah suatu perbuatan;
2.  Dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Dari point pertama kita dapati dengan jelas bahwa perjanjian sebagai perbuatan, tidak didefinisikan oleh KUHPerdata sebagai perbuatan hukum.

Sedangkan point kedua Menurut I.G. Rai Widjaya “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum diantara orang-orang yang membuat perjanjian, hubungan hukum itu disebut perikatan.

Selanjutnya definisi perjanjian yang diberikan oleh KUHPerdata lebih menekankan aktifnya satu pihak yang ‘mengikatkan dirinya’ dibandingkan pihak yang lain. Seolah-olah pihak yang lain tidak diperlukan lagi persetujuannya. Padahal persetujuan itu penting adanya untuk melahirkan perikatan sebagaimana dimaksud Pasal 1233 KUHPerdata “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.”

Terakhir kita dapati bahwa untuk adanya suatu perjanjian minimal terdapat 2 (dua) orang dan tidak diharuskan untuk dibuat secara tertulis.


Perikatan

Prof. R. Subekti, SH mendefinisikan perikatan sebagai hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

KUHPerdata tidak memberikan definisi perikatan. KUHPerdata hanya menjelaskan bahwa:
-  Perikatan dilahirkan karena persetujuan atau karena undang-undang (vide Pasal 1233); dan
-  Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu , untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu (vide Pasal 1234).

Kapankah perikatan karena perjanjian itu lahir? Untuk lahirnya perikatan selain diperlukan persetujuan dari kedua belah pihak dalam sebuah perjanjian sebagaimana Pasal 1233 KUHPerdata juga diperlukan keabsahan dari perjanjian tersebut. Untuk itu harus dilihat ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.

Pasal 1320 KUHPerdata menentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.  Suatu hal tertentu;
4.  Suatu sebab yang halal.

Apabila sebuah perjanjian telah memenuhi 1233 dan 1320 KUHPerdata maka dapatlah dikatakan telah lahir hubungan hukum perikatan, meskipun perjanjian tersebut tidak dibuat secara tertulis.

Sedangkan perikatan yang lahir karena undang-undang adalah perikatan yang terjadi karena adanya suatu peristiwa tertentu sehingga melahirkan hubungan hukum yang menimbulkan hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak yang bersangkutan, tetapi bukan berasal atau merupakan kehendak para pihak yang bersangkutan melainkan karena telah diatur dan ditentukan oleh undang-undang.

Perikatan  yang lahir demi undang-undang timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang (vide Pasal 1352 KUHPerdata).


Kontrak

Kata kontrak berasal dari bahasa Inggris ‘contract’ yang berarti perjanjian. Hanya saja menurut Prof. R. Subekti, SH bahwa kontrak adalah lebih sempit daripada perjanjian, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis. Oleh karena itu I.G. Rai Widjaya berpendapat kontrak lebih menjurus kepada pembuatan suatu akta (pen: tertulis).


Perjanjian dapat dibuat/berbentuk secara lisan atau pun secara tertulis. Sedangkan kontrak adalah salah satu bentuk perjanjian yang tertulis. Perjanjian tertulis (akta) dapat berupa perjanjian yang dibuat dibawah tangan (onderhands) atau perjanjian yang dibuat secara otentik (authentiek)