Definisi hibah
kita merujuk kepada Pasal 1666 KUHPerdata, yang berbunyi “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu
hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan
sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”
Dalam
mendefinisikan hibah KUHPerdata secara langsung menyebutkan bahwa hibah adalah suatu perjanjian. Perihal
perjanjian telah saya ulas secara ringkas pada tulisan saya yang lain.
Frasa “diwaktu hidupnya” bermakna bahwa hibah
hanya dapat dilakukan oleh si penghibah (pemberi hibah) pada saat hidupnya. Hal
mana pada satu segi memiliki kesamaan dengan wasiat atau testamen.
Perbedaannya
adalah wasiat (testamen) yang merupakan suatu akta yang memuat pernyataan
seseorang tentang apa yang dikehendakinya (pen: saat masih hidup) akan terjadi
setelah ia meninggal dunia, sedangkan hibah adalah tentang apa yang si penghibah
nyatakan dan serahkan kepada si penerima hibah pada saat si penghibah masih
hidup.
“dengan
cuma-cuma”
bermakna bahwa pada perjanjian hibah ini hanya ada prestasi dari satu pihak
saja yakni dari si penghibah dengan memberikan benda yang menjadi objek hibah
kepada si penerima hibah. Sementara si penerima hibah tidak ada memberikan kontra
prestasi atau prestasi balasan kepada si penghibah. Meskipun makna ini masih mengundang
perdebatan terkait dengan Pasal 1670 KUHPerdata yang menyatakan “Suatu hibah adalah batal, jika dibuat
dengan syarat bahwa si penerima hibah akan melunasi utang-utang atau
beban-beban lain, selain yang dinyatakan dengan tegas di dalam akta hibah
sendiri atau di dalam suatu daftar yang ditempelkan padanya.”
“dengan
tidak dapat ditarik kembali” dapat kita tafsirkan bahwa setelah
dilakukan penyerahan benda yang menjadi objek hibah maka si penghibah tidak
dapat menarik kembali objek hibah tersebut dari si penerima hibah. Pasal 1686
KUHPerdata “Hak milik atas benda-benda
yang termaktub dalam penghibahan, sekalipun penghibahan itu telah diterima
secara sah, tidaklah berpindah kepada si penerima hibah, selain dengan jalan
penyerahan yang dilakukan menurut Pasal 612, 613, 616 dan selanjutnya.”
Pengecualian
terhadap “dengan tidak dapat ditarik kembali” berlaku jika (vide Pasal 1688 KUHPerdata):
1. Karena tidak dipenuhinya syarat-syarat dengan
mana penghibahan telah dilakukan;
2. Jika si penerima hibah telah bersalah
melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si
penghibah atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah;
3. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah
kepada si penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan;
Terkait
penarikan kembali ini pula Pasal 1672 KUHPerdata mengatur secara optional bahwa “Si penghibah dapat memperjanjikan bahwa ia tetap berhak mengambil
kembali benda-benda yang telah diberikannya, baik dalam halnya si
penerima hibah sendiri, maupun dalam halnya si penerima hibah beserta
turunan-turunannya akan meninggal lebih dahulu daripada si penghibah;
tetapi itu tidak dapat diperjanjikan selain hanya untuk kepentingan si
penghibah sendiri.”
“menyerahkan
sesuatu benda” dapat
kita tafsirkan melalui Pasal 1667 yang mengatur bahwa “Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada. Jika hibah
itu meliputi benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari, maka sekadar
mengenai itu hibahnya adalah batal.”
Dengan demikian
maka hibah hanya berlaku sah terhadap benda yang sudah ada. Sudah ada maksudnya
bahwa benda yang menjadi objek hibah sudah berada dalam kekuasaan/kepemilikan si
penghibah dengan alas hak yang sah. Hibah yang dilakukan terhadap benda yang
baru akan ada dikemudian hari (belum ada saat ini) dengan ancaman batal.
Bagaimana
apabila hibah dilakukan dengan objek hibah yang terdiri dari benda yang sudah
ada dan benda yang baru akan ada? Berdasarkan Pasal 1667 KUHPerdata diatas maka
terhadap benda yang sudah ada adalah sah sedangkan terhadap benda yang baru
akan ada adalah tidak sah.
--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm.