Laman

Sabtu, 01 November 2014

PUTUSNYA PERKAWINAN

Putusnya perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada pasal 38 yang berbunyi:
"Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan".

Secara sederhana putus artinya tidak tersambung lagi atau tidak ada hubungan lagi dari yang sebelumnya tersambung atau terhubung. Dalam konteks perkawinan maka putusnya perkawinan artinya tali perkawinan telah tidak tersambung lagi atau tidak terhubung lagi, singkatnya hubungan suami dan istri telah berakhir.

Bunyi pasal 38 UU Perkawinan diatas menerangkan dan menentukan hal-hal apa saja  yang dapat atau bisa menyebabkan putusnya perkawinan, yakni: karena kematian, karena perceraian, dan karena putusan pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian terjadi karena salah satu pihak dalam perkawinan meninggal dunia apakah itu suami atau istri, mana yang lebih dulu atau pun para pihak suami dan istri secara bersamaan meninggal dunia.

Putusnya perkawinan karena kematian merupakan kejadian yang berada diluar kehendak atau kuasa dari para pihak dalam perkawinan. Tidak terdapat campur tangan dari pasangan yang hidup lebih lama ataupun campur tangan pengadilan dalam hal ini. Putusnya perkawinan karena kematian sepenuhnya merupakan kehendak atau kuasa dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Putusnya perkawinan karena kematian lazim disebut dalam masyarakat kita dengan istilah cerai mati.

Selanjutnya putusnya perkawinan dapat disebabkan karena adanya perceraian. Berdasarkan UU Perkawinan tersebut maka perceraian hanyalah salah satu penyebab putusnya perkawinan, bukan satu-satunya penyebab putusnya perkawinan.

Biasanya dalam masyarakat putusnya perkawinan karena perceraian akan lebih mendapatkan perhatian dibandingkan meninggalnya salah satu pihak atau para pihak sebagai sebab putusnya perkawinan.

Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi baik atas keinginan suami atau istri. Ini artinya baik suami atau istri memiliki hak yang sama dalam mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan yang berwenang mengadili, memeriksa dan memutus gugatan perceraian tersebut.

Apabila gugatan perceraian telah diajukan oleh suami atau istri ke pengadilan yang berwenang, maka selanjutnya pengadilanlah yang berwenang memeriksa dan memutus apakah gugatan tersebut cukup beralasan untuk dikabulkan atau tidak.

Yang terakhir penyebab putusnya perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan adalah karena putusan pengadilan. Apa yang dimaksud dengan "atas putusan pengadilan" itu sendiri tidak kita temui penjelasannya dalam UU Perkawinan atau pun pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975). Hal ini tentu saja membingungkan. Mengapa? Karena bukankah dalam frasa "atas putusan pengadilan" sudah pula meliputi perceraian yang memang dengan putusan pengadilan.

Ada pula yang mencoba menafsirkan "atas putusan pengadilan" dimaksud adalah pembatalan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat 1 UU Perkawinan  yang berbunyi "Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan" dan pasal 38 PP 9/1975 yang berbunyi "Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan". Walaupun jika kita perhatikan agak kurang tepat jika kita bandingkan pengertian putusnya perkawinan dengan batalnya perkawinan. Karena pada putusnya perkawinan setelah putusan putusnya perkawinan maka perkawinan yang telah terjadi sebelum putusan tetap dianggap secara sah telah terjadi sementara pada batalnya perkawinan setelah putusan pengadilan maka perkawinan yang terjadi sebelumnya dianggap batal atau tidak pernah terjadi.

Selanjutnya jika memang tafsiran "atas putusan pengadilan" dimaksud adalah batalnya perkawinan lalu mengapa pasal 38 UU Perkawinan tidak dengan tegas-tegas saja menggunakan frasa batalnya perkawinan sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan dibanding menggunakan frasa atas putusan pengadilan?