SELAMAT DATANG DI PERSONAL BLOG ASEVY SOBARI

PKPU dan Kepailitan, Korporasi, HAKI, Pertanahan, Persaingan Usaha, Ketenagakerjaan, Keuangan Islam

PARTNER PADA FIRMA HUKUM ISNP LAWFIRM

ISNP LAWFIRM. Office: Summarecon - Bekasi, Rukan Sinpansa Blok D.20, Marga Mulya - Bekasi Utara 17143, Tlp. 0812.9090.4694, WA. 0812.8309.0895

ANGGOTA PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA (PERADI)

Diangkat dan disumpah berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

KONSULTASI HUKUM DENGAN PERJANJIAN: 0812-8309-0895 (WA)

Legal Consultation, Legal Opinion, Legal Drafting, Legal Assistant (Retainer), Litigation

KONSULTASI HUKUM DENGAN PERJANJIAN: 0812-8309-0895 (WA)

Legal Consultation, Legal Opinion, Legal Drafting, Legal Assistant (Retainer), Litigation

Laman

Sabtu, 01 November 2014

PUTUSNYA PERKAWINAN

Putusnya perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada pasal 38 yang berbunyi:
"Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan".

Secara sederhana putus artinya tidak tersambung lagi atau tidak ada hubungan lagi dari yang sebelumnya tersambung atau terhubung. Dalam konteks perkawinan maka putusnya perkawinan artinya tali perkawinan telah tidak tersambung lagi atau tidak terhubung lagi, singkatnya hubungan suami dan istri telah berakhir.

Bunyi pasal 38 UU Perkawinan diatas menerangkan dan menentukan hal-hal apa saja  yang dapat atau bisa menyebabkan putusnya perkawinan, yakni: karena kematian, karena perceraian, dan karena putusan pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian terjadi karena salah satu pihak dalam perkawinan meninggal dunia apakah itu suami atau istri, mana yang lebih dulu atau pun para pihak suami dan istri secara bersamaan meninggal dunia.

Putusnya perkawinan karena kematian merupakan kejadian yang berada diluar kehendak atau kuasa dari para pihak dalam perkawinan. Tidak terdapat campur tangan dari pasangan yang hidup lebih lama ataupun campur tangan pengadilan dalam hal ini. Putusnya perkawinan karena kematian sepenuhnya merupakan kehendak atau kuasa dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Putusnya perkawinan karena kematian lazim disebut dalam masyarakat kita dengan istilah cerai mati.

Selanjutnya putusnya perkawinan dapat disebabkan karena adanya perceraian. Berdasarkan UU Perkawinan tersebut maka perceraian hanyalah salah satu penyebab putusnya perkawinan, bukan satu-satunya penyebab putusnya perkawinan.

Biasanya dalam masyarakat putusnya perkawinan karena perceraian akan lebih mendapatkan perhatian dibandingkan meninggalnya salah satu pihak atau para pihak sebagai sebab putusnya perkawinan.

Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi baik atas keinginan suami atau istri. Ini artinya baik suami atau istri memiliki hak yang sama dalam mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan yang berwenang mengadili, memeriksa dan memutus gugatan perceraian tersebut.

Apabila gugatan perceraian telah diajukan oleh suami atau istri ke pengadilan yang berwenang, maka selanjutnya pengadilanlah yang berwenang memeriksa dan memutus apakah gugatan tersebut cukup beralasan untuk dikabulkan atau tidak.

Yang terakhir penyebab putusnya perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan adalah karena putusan pengadilan. Apa yang dimaksud dengan "atas putusan pengadilan" itu sendiri tidak kita temui penjelasannya dalam UU Perkawinan atau pun pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975). Hal ini tentu saja membingungkan. Mengapa? Karena bukankah dalam frasa "atas putusan pengadilan" sudah pula meliputi perceraian yang memang dengan putusan pengadilan.

Ada pula yang mencoba menafsirkan "atas putusan pengadilan" dimaksud adalah pembatalan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat 1 UU Perkawinan  yang berbunyi "Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan" dan pasal 38 PP 9/1975 yang berbunyi "Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan". Walaupun jika kita perhatikan agak kurang tepat jika kita bandingkan pengertian putusnya perkawinan dengan batalnya perkawinan. Karena pada putusnya perkawinan setelah putusan putusnya perkawinan maka perkawinan yang telah terjadi sebelum putusan tetap dianggap secara sah telah terjadi sementara pada batalnya perkawinan setelah putusan pengadilan maka perkawinan yang terjadi sebelumnya dianggap batal atau tidak pernah terjadi.

Selanjutnya jika memang tafsiran "atas putusan pengadilan" dimaksud adalah batalnya perkawinan lalu mengapa pasal 38 UU Perkawinan tidak dengan tegas-tegas saja menggunakan frasa batalnya perkawinan sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan dibanding menggunakan frasa atas putusan pengadilan?

Selasa, 19 Agustus 2014

PENITIPAN BARANG

Tulisan kali ini akan mengupas sedikit tentang Pasal 1694 KUHPerdata tentang Penitipan Barang.

Pasal 1694 KUHPerdata "Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama."

Point yang dapat kita ambil dari Pasal 1694 KUHPerdata diatas:
  1. Penitipan Barang baru terjadi bila calon penerima titipan setuju untuk dititipi barang. Tanpa persetujuan dari penerima titipan maka penitipan barang tidak terjadi. Karena dgn ada/tdk nya persetujuan sama dgn ada/tidaknya beban tanggung jawab penerima titipan terhadap pemberi titipan.
  2. “barang” yang dititipkan kepada penerima titipan adalah milik orang lain. Milik orang lain dapat berarti milik si pemberi titipan atau bisa juga milik pihak ketiga (selain dari si pemberi titipan). Pastinya barang yang dititipkan bukan milik si penerima titipan. Kalau milik si penerima titipan itu namanya mengembalikan barang bukan menitipkan barang.
  3. Barang titipan untuk disimpan oleh penerima titipan. Tidak untuk dipakai.
  4. Barang titipan dikembalikan dalam keadaan yang sama kepada pemberi titipan sebagaimana kondisi saat barang titipan diterima. Dapat juga barang titipan tidak dikembalikan ke si pemberi titipan semula tetapi kepada kuasa/wakil si pemberi titipan asalkan hal tersebut diperjanjikan secara jelas sebelumnya.

Pasal 1695 KUHPerdata “Ada 2 (dua) jenis penitipan barang yaitu: penitipan murni (sejati) dan sekestrasi (penitipan dalam perselisihan).” Seolah-olah ada penitipan yg murni dan ada penitipan yang tdk murni. Ada penitipan yang sejati dan penitipan tidak sejati.

Penitipan murni dianggap Cuma-Cuma bila tidak diperjanjikan sebaliknya dan hanya untuk barang bergerak. Jadi bila si pemberi titipan dan si penerima titipan tidak ada pembicaraan dan kesepakatan perihal “biaya” maka penitipan tersebut adalah Cuma-Cuma atau tanpa biaya.

Penitipan Sekestrasi: 

  1. Penitipan barang yang berada dalam persengketaan kepada orang lain
  2. Orang lain yang dititipkan tersebut mengikatkan diri untuk mengembalikan barang itu dengan semua hasilnya kepada yang berhak. 
  3. Barang dikembalikan kepada yang berhak setelah perselisihan diputus oleh Pengadilan. 
  4. Penitipan ini terjadi karena perjanjian atau karena perintah Hakim.

Penitipan Sekestrasi untuk barang bergerak dan barang tidak bergerak. Penitipan murni untuk barang bergerak saja.

Penitipan Sekestrasi terjadi karena perjanjian atau karena perintah hakim. Penitipan murni adalah karena perjanjian saja.

Perjanjian maksudnya:

  1. Pada Penitipan Murni: Antara si pemberi titipan dengan si penerima titipan.
  2. Pada Penitipan Sekestrasi: antara pihak yang bersengketa dengan si penerima titipan yang disepakati pihak yang bersengketa.

Jadi dalam Penitipan Sekestrasi karena perjanjian si pemberi titipan adalah pihak yang bersengketa.

Penitipan karena perintah hakim hanya dikenal dalam Penitipan sekestrasi tidak dalam penitipan murni. Repot juga ya jika ada penitipan murni karena hakim?

Repot juga bila ingin menitipkan mobil/motor harus ada hakim/penetapan hakim.

Minggu, 17 Agustus 2014

PENAMBAHAN MODAL DASAR

Pengaturan secara umum tentang penambahan modal perseroan terdapat pada Pasal 41 ayat 1 UUPT yang menyatakan "Penambahan modal Perseroan dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS."

"Penambahan modal..." dimaksud adalah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Dengan demikian apabila perseroan ingin melakukan penambahan modal, dalam hal ini adalah penambahan modal dasar maka terlebih dahulu disetujui oleh forum RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).

Selanjutnya secara khusus Pasal 42 ayat 1 UUPT mengatur perihal sah tidaknya keputusan RUPS untuk penambahan modal dasar "Keputusan RUPS untuk penambahan modal dasar adalah sah apabila dilakukan dengan memperhatikan persyaratan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar."

Berapakah "persyaratan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar" dalam rangka penambahan modal dasar?

Untuk menjawab pertanyaan diatas kita harus melihat Pasal 88 ayat 1 UUPT "RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar."

Dari Pasal 88 ayat 1 UUPT diatas kita dapati:
1. Kuorum kehadiran RUPS dalam rangka penambahan modal dasar ditentukan "paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili";
2. Keputusan RUPS untuk menyetujui penambahan modal dasar "adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan";
3. Anggaran dasar dapat menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Artinya UUPT menentukan batas minimal yang harus dipenuhi dan anggaran dasar perseroan dapat mengatur lebih dari batas minimal yang terdapat dalam UUPT. Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud pada 88 ayat 1 UUPT diatas tidak tercapai, dapat diselenggarakan RUPS kedua ~ vide Pasal 88 ayat 2 UUPT.

Perubahan anggaran dasar dalam rangka Penambahan Modal dasar merupakan hal yang harus mendapatkan persetujuan menteri, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UUPT.

Pasal 21 ayat 1 UUPT "Perubahan anggaran dasar tertentu harus mendapat persetujuan Menteri."

Pasal 21 ayat 2 UUPT "Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 

a. nama Perseroan dan/atau tempat kedudukan Perseroan; 

b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; 

c. jangka waktu berdirinya Perseroan; 

d. besarnya modal dasar

e. pengurangan modal ditempatkan dan disetor; dan/atau 

f. status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya."


Selanjutnya pada Pasal 33 ayat 1 UUPT "Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh." Terkait dengan penambahan modal dasar maka dalam hal modal dasar perseroan sebelumnya adalah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan setelah dilakukan penambahan modal dasar menjadi Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) maka berdasarkan Pasal 31 ayat 1 UUPT modal ditempatkan dan disetor penuh yg sebelumnya Rp 12.500.000,- (25% dari Rp 50.000.000,-) setelah dilakukan penambahan modal dasar menjadi Rp 25.000.000,- (25% dari Rp 100.000.000,-). Jadi pemegang saham tinggal menyetor penuh Rp 12.500.000,- lagi untuk memenuhi Pasal 33 ayat 1 UUPT.

Yang perlu diperhatikan adalah terjadinya penambahan modal ditempatkan dan modal disetor disini adalah dalam rangka perubahan penambahan modal dasar bukan penambahan modal ditempatkan dan disetor penuh yang dilakukan tanpa perubahan penambahan modal dasar. Jadi penambahan modal ditempatkan dan disetor penuh disini adalah untuk memenuhi ketentuan minimal UUPT.

Dalam hal penambahan modal ditempatkan dan disetor penuh yang dilakukan tanpa perubahan penambahan modal dasar adalah untuk memenuhi keputusan RUPS bukan untuk memenuhi ketentuan minimal UUPT (karena ketentuan minimal telah/sudah terpenuhi).

Dan ketentuan kuorum dan keputusan RUPS dalam rangka penambahan modal ditempatkan dan disetor penuh yang dilakukan tanpa perubahan penambahan modal dasar adalah sebagaimana Pasal 42 ayat 2 UUPT "Keputusan RUPS untuk penambahan modal ditempatkan dan disetor dalam batas modal dasar adalah sah apabila dilakukan dengan kuorum kehadiran lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari seluruh jumlah saham dengan hak suara dan disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh suara yang dikeluarkan, kecuali ditentukan lebih besar dalam anggaran dasar." 














Minggu, 27 Juli 2014

PENGGABUNGAN PERSEROAN TERBATAS

Pasal 1 angka 9 UUPT "Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum."

Dalam penggabungan perseroan (merger) terdapat perseroan yang menggabungkan diri dan perseroan yang menerima penggabungan.... lanjut membaca


Sabtu, 24 Mei 2014

GADAI (Pand)



Pasal 1150 KUHPerdata Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seseorang lain atas namanya, dan yang memberi kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang  tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya...”

Dari definisi yang diberikan oleh Pasal 1150 KUHPerdata tersebut maka dapat kita sarikan sebagai berikut:

Gadai adalah suatu hak

Hak yang dimaksud adalah hak kebendaan yang memberikan jaminan. Jaminan kepada si berpiutang (kreditur) untuk memanfaatkan benda tersebut jika si berutang (debitur) wanprestasi. Pasal 528 KUHPerdata Atas suatu barang, orang dapat mempunyai hak besit atau hak milik atau hak waris atau hak menikmati hasil atau hak pengabdian tanah, atau hak gadai atau hak hipotek.

Diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seseorang lain atas namanya

“Diperoleh seorang berpiutang” bermakna bahwa hak gadai hanya dapat diperoleh oleh si berpiutang tidak oleh si berutang, dengan demikian  maka gadai diadakan untuk kepentingan kreditur bukan untuk kepentingan debitur. Kepentingan apa? Kepentingan pelunasan segala piutang kreditur bila debitur wanprestasi terhadap perjanjian yang dibuatnya dengan kreditur.
-  “atas suatu barang bergerak” berarti bahwa lembaga gadai berlaku hanya untuk barang bergerak (disamping fidusia), tidak berlaku untuk barang tidak bergerak. Untuk barang tidak bergerak maka lembaga hukum yang mengaturnya adalah hak tanggungan (dahulu hipotik).
-  “yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya” maksudnya adalah objek gadai diserahkan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai (kreditur). Dari bunyi redaksi tampak jelas bahwa si pemberi gadai dalam melakukan penyerahan objek gadai tidaklah harus debitur tetapi dapat juga orang lain (pihak ketiga) yang melakukan penyerahan atas nama/kuasa dari si debitur.

Memberi kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang  tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya

Bahwa dalam hak gadai mengandung asas prioritas (droit de preference), yaitu hak kebendaan yang dimiliki kreditur (penerima gadai) untuk didahulukan dalam pemenuhan piutangnya diatara kreditur-kreditur lainnya dari hasil penjualan harta benda yang dijadikan objek gadai.

Pasal 1133 KUHPerdata Hal untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotek.

Pasal 1134 KUHPerdata Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya

Bagaimana jika objek gadai tidak cukup untuk menutupi seluruh hutang debitur? Dalam hal ini kreditur dapat menuntut sisa hutang untuk dipenuhi dari kebendaan lain yang dimiliki debitur, hanya saja kali ini kedudukan kreditur  terhadap kreditur-kreditur lainya (jika ada) memiliki kedudukan sama (concurent) dimana kreditur dan kreditur-kreditur lainya mendapatkan pemenuhan pelunasan piutang yang dimiliki secara seimbang.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm

Minggu, 04 Mei 2014

HIBAH (SCHENKING)



Definisi hibah kita merujuk kepada Pasal 1666 KUHPerdata, yang berbunyi “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”

Dalam mendefinisikan hibah KUHPerdata secara langsung menyebutkan bahwa hibah adalah suatu perjanjian. Perihal perjanjian telah saya ulas secara ringkas pada tulisan saya yang lain.

Frasa “diwaktu hidupnya” bermakna bahwa hibah hanya dapat dilakukan oleh si penghibah (pemberi hibah) pada saat hidupnya. Hal mana pada satu segi memiliki kesamaan dengan wasiat atau testamen.

Perbedaannya adalah wasiat (testamen) yang merupakan suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya (pen: saat masih hidup) akan terjadi setelah ia meninggal dunia, sedangkan hibah adalah tentang apa yang si penghibah nyatakan dan serahkan kepada si penerima hibah pada saat si penghibah masih hidup.

“dengan cuma-cuma” bermakna bahwa pada perjanjian hibah ini hanya ada prestasi dari satu pihak saja yakni dari si penghibah dengan memberikan benda yang menjadi objek hibah kepada si penerima hibah. Sementara si penerima hibah tidak ada memberikan kontra prestasi atau prestasi balasan kepada si penghibah. Meskipun makna ini masih mengundang perdebatan terkait dengan Pasal 1670 KUHPerdata yang menyatakan “Suatu hibah adalah batal, jika dibuat dengan syarat bahwa si penerima hibah akan melunasi utang-utang atau beban-beban lain, selain yang dinyatakan dengan tegas di dalam akta hibah sendiri atau di dalam suatu daftar yang ditempelkan padanya.”

“dengan tidak dapat ditarik kembali” dapat kita tafsirkan bahwa setelah dilakukan penyerahan benda yang menjadi objek hibah maka si penghibah tidak dapat menarik kembali objek hibah tersebut dari si penerima hibah. Pasal 1686 KUHPerdata “Hak milik atas benda-benda yang termaktub dalam penghibahan, sekalipun penghibahan itu telah diterima secara sah, tidaklah berpindah kepada si penerima hibah, selain dengan jalan penyerahan yang dilakukan menurut Pasal 612, 613, 616 dan selanjutnya.”

Pengecualian terhadap “dengan tidak dapat ditarik kembali” berlaku jika (vide Pasal 1688 KUHPerdata):
1.  Karena tidak dipenuhinya syarat-syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan;
2.  Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah;
3.  Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan;

Terkait penarikan kembali ini pula Pasal 1672 KUHPerdata mengatur secara optional bahwa “Si penghibah dapat memperjanjikan bahwa ia tetap berhak mengambil kembali benda-benda yang telah diberikannya, baik dalam halnya si penerima hibah sendiri, maupun dalam halnya si penerima hibah beserta turunan-turunannya akan meninggal lebih dahulu daripada si penghibah; tetapi itu tidak dapat diperjanjikan selain hanya untuk kepentingan si penghibah sendiri.”

“menyerahkan sesuatu benda” dapat kita tafsirkan melalui Pasal 1667 yang mengatur bahwa “Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada. Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari, maka sekadar mengenai itu hibahnya adalah batal.”

Dengan demikian maka hibah hanya berlaku sah terhadap benda yang sudah ada. Sudah ada maksudnya bahwa benda yang menjadi objek hibah sudah berada dalam kekuasaan/kepemilikan si penghibah dengan alas hak yang sah. Hibah yang dilakukan terhadap benda yang baru akan ada dikemudian hari (belum ada saat ini) dengan ancaman batal.

Bagaimana apabila hibah dilakukan dengan objek hibah yang terdiri dari benda yang sudah ada dan benda yang baru akan ada? Berdasarkan Pasal 1667 KUHPerdata diatas maka terhadap benda yang sudah ada adalah sah sedangkan terhadap benda yang baru akan ada adalah tidak sah.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm.

Kamis, 01 Mei 2014

PERJANJIAN, PERIKATAN, DAN KONTRAK

Perjanjian

Istilah Perjanjian kita dapati pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mendefinisikannya sebagai“suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Terdapat 2 point yang dapat kita ambil dari definisi Pasal 1313 KUHPerdata diatas yaitu:
1.  Perjanjian adalah suatu perbuatan;
2.  Dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Dari point pertama kita dapati dengan jelas bahwa perjanjian sebagai perbuatan, tidak didefinisikan oleh KUHPerdata sebagai perbuatan hukum.

Sedangkan point kedua Menurut I.G. Rai Widjaya “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum diantara orang-orang yang membuat perjanjian, hubungan hukum itu disebut perikatan.

Selanjutnya definisi perjanjian yang diberikan oleh KUHPerdata lebih menekankan aktifnya satu pihak yang ‘mengikatkan dirinya’ dibandingkan pihak yang lain. Seolah-olah pihak yang lain tidak diperlukan lagi persetujuannya. Padahal persetujuan itu penting adanya untuk melahirkan perikatan sebagaimana dimaksud Pasal 1233 KUHPerdata “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.”

Terakhir kita dapati bahwa untuk adanya suatu perjanjian minimal terdapat 2 (dua) orang dan tidak diharuskan untuk dibuat secara tertulis.


Perikatan

Prof. R. Subekti, SH mendefinisikan perikatan sebagai hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

KUHPerdata tidak memberikan definisi perikatan. KUHPerdata hanya menjelaskan bahwa:
-  Perikatan dilahirkan karena persetujuan atau karena undang-undang (vide Pasal 1233); dan
-  Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu , untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu (vide Pasal 1234).

Kapankah perikatan karena perjanjian itu lahir? Untuk lahirnya perikatan selain diperlukan persetujuan dari kedua belah pihak dalam sebuah perjanjian sebagaimana Pasal 1233 KUHPerdata juga diperlukan keabsahan dari perjanjian tersebut. Untuk itu harus dilihat ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.

Pasal 1320 KUHPerdata menentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.  Suatu hal tertentu;
4.  Suatu sebab yang halal.

Apabila sebuah perjanjian telah memenuhi 1233 dan 1320 KUHPerdata maka dapatlah dikatakan telah lahir hubungan hukum perikatan, meskipun perjanjian tersebut tidak dibuat secara tertulis.

Sedangkan perikatan yang lahir karena undang-undang adalah perikatan yang terjadi karena adanya suatu peristiwa tertentu sehingga melahirkan hubungan hukum yang menimbulkan hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak yang bersangkutan, tetapi bukan berasal atau merupakan kehendak para pihak yang bersangkutan melainkan karena telah diatur dan ditentukan oleh undang-undang.

Perikatan  yang lahir demi undang-undang timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang (vide Pasal 1352 KUHPerdata).


Kontrak

Kata kontrak berasal dari bahasa Inggris ‘contract’ yang berarti perjanjian. Hanya saja menurut Prof. R. Subekti, SH bahwa kontrak adalah lebih sempit daripada perjanjian, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis. Oleh karena itu I.G. Rai Widjaya berpendapat kontrak lebih menjurus kepada pembuatan suatu akta (pen: tertulis).


Perjanjian dapat dibuat/berbentuk secara lisan atau pun secara tertulis. Sedangkan kontrak adalah salah satu bentuk perjanjian yang tertulis. Perjanjian tertulis (akta) dapat berupa perjanjian yang dibuat dibawah tangan (onderhands) atau perjanjian yang dibuat secara otentik (authentiek)

Selasa, 29 April 2014

DIREKTUR INDEPENDEN PADA EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK

Direktur Independen Dalam UUPT

Apabila kita cek dalam UUPT kita tidak akan menemui istilah Direktur Independen ataupun Direksi Independen.

UUPT hanya mengenal Komisaris Independen sebagaimana termuat pada Pasal 120 ayat 1 UUPT, Anggaran dasar Perseroan dapat mengatur adanya 1 (satu) orang atau lebih komisaris independen dan 1 (satu) orang komisaris utusan.”


Istilah Direktur Independen Terdapat Dalam Peraturan BEI

Perihal Direktur Independen kita dapat melihatnya pada Surat Keputusan Direksi Bursa Efek Indonesia Nomor Kep-00001/BEI/01-2014 Perihal Perubahan Peraturan Nomor I-A Tentang Pencatatan Saham Dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham Yang Diterbitkan Oleh Perusahaan Tercatat.

Sebagaimana terdapat pada Lampiran I surat keputusan tersebut bagian III Bursa Efek Indonesia mengatur bahwa calon perusahaan tercatat baik yang akan mencatatkan saham di papan utama maupun di papan pengembangan wajib memenuhi beberapa persyaratan yang diantaranya adalah wajib memiliki Direktur Independen.


Siapa Itu Direktur Independen

Pada bagian III.1.5.1 Peraturan Nomor 1-A ditentukan bahwa Direktur Independen “Berjumlah paling kurang 1 (satu) orang dari jajaran anggota Direksi yang dapat dipilih terlebih dahulu melalui RUPS sebelum Pencatatan dan mulai efektif bertindak sebagai Direktur Independen setelah saham perusahaan tersebut tercatat;”

Dengan demikian maka Direktur Independen adalah:
-         Salah satu Direktur dari jajaran anggota Direksi.
-         Direktur Independen dapat dipilih terlebih dahulu melalui RUPS sebelum saham perusahaan resmi tercatat di bursa, namun Direktur Independen tersebut baru bisa bertindak melaksanakan tugas dan fungsi nya setelah saham perusahaan resmi telah tercatat di bursa.


Yang Berwenang Mengangkat Direktur Independen

Meskipun tidak ditemukan istilah Direktur Independen ataupun Direksi Independen pada UUPT namun dalam hal siapa yang berwenang mengangkat Direktur Independen kita tetap harus merujuk pada Pasal 94 ayat 1 UUPT, “Anggota Direksi diangkat oleh RUPS”.


Syarat Direktur Independen

Pada bagian III.1.5.2 Peraturan Nomor 1-A ditentukan bahwa Direktur Independen disyaratkan:
-  Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan Pengendali Perusahaan Tercatat yang bersangkutan paling kurang selama 6 (enam) bulan sebelum penunjukan sebagai Direktur Independen;
-  Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan Komisaris atau Direksi lainnya dari Calon Perusahaan Tercatat;
-  Tidak bekerja rangkap sebagai Direksi pada perusahaan lain;
-  Tidak menjadi Orang Dalam pada lembaga atau Profesi Penunjang Pasar Modal yang jasanya digunakan oleh Calon Perusahaan Tercatat selama 6 (enam) bulan sebelum penunjukan sebagai Direktur.


Jumlah Direktur Independen

Pada bagian III.1.5.1 Peraturan Nomor 1-A ditentukan bahwa Direktur Independen Berjumlah paling kurang 1 (satu) orang dari jajaran anggota Direksi yang dapat dipilih terlebih dahulu melalui RUPS sebelum Pencatatan dan mulai efektif bertindak sebagai Direktur Independen setelah saham perusahaan tersebut tercatat;”

Berjumlah paling kurang 1 (satu) orang berarti minimal memiliki 1 (satu) orang Direktur Independen. Memiliki lebih dari 1 (satu) orang Direktur Independen diperbolehkan dan tidak dilarang.


Masa Jabatan Direktur Independen

Pada bagian V.4.2. Peraturan Nomor 1-A ditentukan bahwa “masa jabatan Direktur Independen paling banyak 2 (dua) periode berturut-turut;”

Satu periode masa jabatan diatur dalam Peraturan OJK Nomor IX.J.1 Tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas Dan Perusahaan Publik “Dalam anggaran dasar ditentukan jangka waktu masa jabatan anggota direksi dan anggota dewan komisaris dengan ketentuan satu periode masa jabatan tidak melebihi 5 (lima) tahun atau sampai dengan penutupan RUPS tahunan pada akhir satu periode masa jabatan dimaksud.”

Selasa, 15 April 2014

SELUK BELUK FIRMA (VENNOOTSCHAP ONDER FIRMA)



Pengertian Firma

Pasal 16 KUHD “Yang dinamakan Firma ialah tiap-tiap perserikatan yang didirikan untuk mejalankan sesuatu perusahaan dibawah satu nama bersama.”

Terkait definisi yang diberikan oleh Pasal 16 KUHD diatas, Prof. Sukardono mengatakan bahwa Firma adalah suatu perserikatan perdata yang khusus yang harus memiliki 3 (tiga) unsur mutlak, yaitu:
a.  Menjalankan perusahaan;
b.  Dengan pemakaian Firma (nama) bersama;
c.  Pertanggungjawaban tiap-tiap sekutu untuk seluruhnya mengenai perikatan dengan firma.

Firma (Fa) sebenarnya berarti nama yang dipakai untuk berdagang bersama-sama. Nama Firma adakalanya diambil dari:
-  nama seorang yang turut menjadi sekutu (persero) pada Firma itu sendiri;
-  nama seorang sekutu dengan tambahan yang menunjukkan anggota keluarganya;
-  himpunan nama semua sekutu secara singkatan;
-  nama bidang usaha yang dijalankan;
-  nama orang yang bukan sekutu.

Hak Sekutu Dalam Firma

Pasal 17 KUHD menentukan:
Tiap-tiap persero yang tidak dikecualikan dari satu sama lain, berhak untuk bertindak, untuk mengeluarkan dan menerima uang atas nama perseroan, pula untuk mengikat perseroan itu dengan pihak ketiga dan pihak ketiga dengannya.
Segala tindakan yang tidak bersangkutpautan dengan perseroan itu, atau yang para pesero tidak berhak melakukannya, tidak termasuk pada ketentuan diatas.

Dengan demikian hak sekutu dalam firma berdasarkan Pasal 17 KUHD diatas adalah:
- Berhak untuk bertindak;
- Mengeluarkan dan menerima uang atas nama perseroan;
- Mengikat perseroan dengan pihak ketiga dan pihak ketiga dengannya.

Perihal Pasal 17 KUHD Prof. CST Kansil, SH dan Christine ST Kansil, SH berpendapat dengan demikian seorang anggota firma yang bertindak ke luar tidak perlu diberi kekuasaan khusus oleh kawan-kawan anggota lainnya untuk mengikatkan mereka, malahan mereka itu sudah dengan sendirinya terikat oleh segala perjanjian yang diadakan oleh salah seorang rekannya.

Tanggung Jawab Sekutu Dalam Firma

Pasal 18 KUHD, “Dalam perseroan Firma adalah tiap-tiap pesero secara tanggung-menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya atas segala perikatan dari perseroan.”

Dengan demikian tiap-tiap sekutu dalam sebuah Firma bertanggung jawab sepenuhnya atas perikatan-perikatan yang dilakukan Firma terhadap pihak ketiga meskipun terdapat salah satu atau lebih sekutu yang tidak ikut menandatangani perikatan yang dibuat oleh sekutu lainnya dengan pihak ketiga untuk kepentingan Firma. Dari hal ini maka sangat terlihat betapa unsur kepercayaan antara satu orang sekutu dengan sekutu atau sekutu-sekutu lainnya dalam Firma menjadi sangat penting.

Firma Bukan Badan Hukum

Mengutip Prof. Rudhi Prasetya, SH dalam Perseroan Terbatas Teori dan Praktik, “Perkumpulan merupakan asosiasi yang berbadan hukum manakala memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Stb. 1870-64 tanggal 28-3-1870 jo. Stb. 1927-156 tanggal 29-6-1925, yaitu (pen: Anggaran Dasar/Statuta) telah memperoleh pengesahan Menteri Hukum dan HAM.”

Pasal 23 KUHD, “Para pesero Firma diharuskan mendaftarkan akta tersebut dalam register yang disediakan untuk itu dikepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya perseroan mereka bertempat kedudukan.”

Pasal 28 KUHD, “Selain daripada itu para pesero diwajibkan pula menyelenggarakan pengumuman dari petikan akta sebagaimana termaksud dalam ketentuan Pasal 26, dalam Berita Negara.”

Tampak dari Pasal 23 dan 28 KUHD tersebut diatas bahwa Firma hanya wajib untuk mendaftarkan akta pendirian (dimana Anggaran Dasar terdapat didalamnya) dikepaniteraan Pengadilan Negeri dan menyelenggarakan pengumuman dari akta pendirian dalam Berita Negara, adapun pengesahan akta pendirian tersebut kepada Menteri Hukum dan HAM tidak diwajibkan, dengan demikian Firma bukanlah sebuah badan hukum.

Harta Kekayaan Firma

Dikarenakan Firma bukan sebuah badan hukum maka tidak ada pemisahan harta kekayaan antara harta kekayaan Firma dan harta kekayaan sekutu atau sekutu-sekutu. Maka utang Firma adalah menjadi utang sekutu.

Terkait kepailitan maka apabila terdapat 3 (tiga) orang sekutu dalam sebuah Firma dan Firma dipailitkan maka terdapat 4 (empat) boedel pailit, yaitu 1 (satu) boedel Firma dan 3 (tiga) boedel sekutu Firma.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm.

Senin, 17 Maret 2014

TRANSAKSI AFILIASI

PENGERTIAN TRANSAKSI

Transaksi berdasarkan Peraturan OJK Nomor IX.E.1 Tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu didefinisikan sebagai aktivitas dalam rangka:
1) memberikan dan/atau mendapat pinjaman;
2) memperoleh, melepaskan, atau menggunakan aset termasuk dalam rangka menjamin;
3) memperoleh, melepaskan, atau menggunakan jasa atau Efek suatu Perusahaan atau Perusahaan Terkendali; atau
4) mengadakan kontrak sehubungan dengan aktivitas sebagaimana dimaksud dalam butir 1), butir 2), dan butir 3), yang dilakukan dalam satu kali transaksi atau dalam suatu rangkaian transaksi untuk suatu tujuan atau kegiatan tertentu. 


PENGERTIAN AFILIASI

Pengertian Afiliasi dapat kita temukan pada Pasal 1 angka 1 UUPM yang didefinisikan sebagai:
a. hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal;
b. hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari Pihak tersebut;
c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama;
d. hubungan antara perusahaan dengan Pihak, baik langsung maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut;
e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh Pihak yang sama;atau
f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama.


PENGERTIAN TRANSAKSI AFILIASI

Peraturan OJK Nomor IX.E.1 Tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu mendefinisikan Transaksi Afiliasi sebagai Transaksi yang dilakukan oleh Perusahaan atau Perusahaan Terkendali dengan Afiliasi dari Perusahaan atau Afiliasi dari anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau pemegang saham utama Perusahaan.

Bila kita kupas satu persatu dari definisi yang diberikan maka Transaksi afiliasi adalah transaksi yang dilakukan oleh:

Perusahaan dengan:
-         Afiliasi dari perusahaan;
-         Afiliasi dari anggota direksi;
-         Afiliasi dari anggota Dewan Komisaris;
-         Afiliasi dari pemegang saham utama perusahaan;

atau

Perusahaan Terkendali dengan:
-         Afiliasi dari perusahaan;
-         Afiliasi dari anggota direksi;
-         Afiliasi dari anggota Dewan Komisaris;
-         Afiliasi dari pemegang saham utama perusahaan;


Yang dimaksud dengan perusahaan adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. Sedangkan yang dimaksud dengan perusahaan terkendali adalah suatu perusahaan yang dikendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh Perusahaan.


KEWAJIBAN DALAM TRANSAKSI AFILIASI

-  Mengumumkan keterbukaan informasi atas setiap Transaksi Afiliasi kepada masyarakat dan menyampaikan bukti pengumuman dan dokumen pendukungnya kepada OJK paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya Transaksi
-  Melaporkan (penulis: tidak wajib diumumkan) Transaksi berikut ini kepada OJK paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya Transaksi:
1.  Penggunaan setiap fasilitas yang diberikan oleh Perusahaan atau Perusahaan Terkendali kepada anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau pemegang saham utama dalam hal pemegang saham utama juga menjabat sebagai Karyawan dan fasilitas tersebut langsung berhubungan dengan tanggung jawab mereka terhadap Perusahaan dan sesuai dengan kebijakan Perusahaan, serta telah disetujui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
Note: tiga hal yang harus diperhatikan bahwa fasilitas yang diberikan:
-  Langsung berhubungan dengan tanggung jawab terhadap Perusahaan
-  Sesuai dengan kebijakan Perusahaan
-  Telah disetujui oleh RUPS

2.  Transaksi antara Perusahaan dengan Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan tersebut maupun dengan Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Terkendali dengan persyaratan yang sama, sepanjang hal tersebut telah disetujui RUPS. Dalam Transaksi tersebut termasuk pula manfaat yang diberikan oleh Perusahaan kepada semua Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris dengan persyaratan yang sama, menurut kebijakan yang ditetapkan Perusahaan;

3.  Transaksi dengan nilai transaksi tidak melebihi 0,5% (nol koma lima perseratus) dari modal disetor Perusahaan dan tidak melebihi jumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
Note:
-  kata “dan” berarti bersifat kumulatif tidak melebihi 0,5% dari modal disetor Perusahaan dan tidak melebihi jumlah 5 miliar rupiah yang berarti Transaksi menjadi hanya wajib dilaporkan kepada OJK tanpa wajib Mengumumkan keterbukaan informasi atas Transaksi kepada masyarakat.
-  Apabila salah satu saja melebihi (terlewati) maka terkena kewajiban untuk mengumumkan keterbukaan informasi kepada masyarakat dan menyampaikan bukti pengumuman dan dokumen pendukungnya kepada OJK.

4.  Transaksi yang dilakukan oleh Perusahaan sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan;

5.  Transaksi antara Perusahaan dengan Perusahaan Terkendali yang saham atau modalnya dimiliki paling kurang 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) atau antara sesama Perusahaan Terkendali yang saham atau modalnya dimiliki paling kurang 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) oleh Perusahaan dimaksud; dan/atau
Ilustrasi:

atau


6.  Transaksi antara Perusahaan dengan Perusahaan Terkendali yang saham atau modalnya tidak dimiliki seluruhnya dan tidak satu pun saham atau modal Perusahaan Terkendali dimiliki oleh anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, pemegang saham utama Perusahaan dimaksud, atau Pihak Terafiliasinya, dan laporan keuangan Perusahaan Terkendali tersebut dikonsolidasikan dengan Perusahaan.
Note:
-  Perusahaan Terkendali adalah suatu perusahaan yang dikendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh Perusahaan.
-  Tiga hal yang harus dipenuhi pada point ini, yaitu: (a) Transaksi terjadi antara Perusahaan dengan Perusahaan Terkendali; (b) Saham/modal Perusahaan Terkendali tidak dimiliki seluruhnya oleh Perusahaan; (c) Tidak satu pun Saham/modal Perusahaan Terkendali  dimiliki oleh anggota dewan komisaris, anggota direksi, pemegang saham utama Perusahaan, atau Pihak terafiliasi dari anggota dewan komisari, anggota direksi, pemegang saham utama Perusahaan; (d) Laporan Keuangan Perusahaan Terkendali telah dikonsolidasikan dengan Perusahaan.
-  “tidak dimiliki seluruhnya” berarti hanya dimiliki sebagian oleh Perusahaan. Sebagian dapat mengandung 2 (dua) pengertian: sebagian besar dan sebagian kecil. Contoh sebagian besar adalah 50,01% hingga 99,99 % sementara yang sisanya dimiliki pihak lain, apakah ini yang dimaksud oleh peraturan ini? Sedangkan sebagian kecil bisa berarti 0,1 % hingga 49,99 %.
-  “tidak satu pun saham/modal perusahaan terkendali dimiliki ...” berarti jika satu pun saham/modal perusahaan terkendali dimiliki maka terkena kewajiban untuk mengumumkan keterbukaan informasi kepada masyarakat dan menyampaikan bukti pengumuman dan dokumen pendukungnya kepada Bapepam dan LK.


Transaksi Afiliasi Yang Dikecualikan dari Kewajiban Mengumumkan dan Melaporkan

1) Imbalan, termasuk gaji, iuran dana pensiun, dan/atau manfaat khusus yang diberikan kepada anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan pemegang saham utama dalam hal pemegang saham utama menjabat juga sebagai Karyawan, jika jumlah secara keseluruhan dari imbalan tersebut diungkapkan dalam laporan keuangan berkala;

2) Transaksi berkelanjutan yang telah dilakukan sebelum Perusahaan melaksanakan Penawaran Umum perdana atau sebelum disampaikannya pernyataan pendaftaran sebagai Perusahaan Publik, dengan persyaratan: a) Transaksi telah diungkapkan sepenuhnya dalam Prospektus Penawaran Umum perdana atau dalam keterbukaan informasi pernyataan pendaftaran Perusahaan Publik; dan b) syarat dan kondisi Transaksi tidak mengalami perubahan yang dapat merugikan Perusahaan;

3) Transaksi berkelanjutan yang dilakukan sesudah Perusahaan melakukan Penawaran Umum atau setelah pernyataan pendaftaran sebagai Perusahaan Publik menjadi efektif, dengan persyaratan: a) Transaksi awal yang mendasari Transaksi selanjutnya telah memenuhi peraturan ini; dan b) syarat dan kondisi Transaksi tidak mengalami perubahan yang dapat merugikan Perusahaan;

4) Transaksi yang merupakan kegiatan usaha utama Perusahaan atau Perusahaan Terkendali; dan

5) Transaksi yang merupakan penunjang kegiatan usaha Perusahaan atau Perusahaan Terkendali.