SELAMAT DATANG DI PERSONAL BLOG ASEVY SOBARI

PKPU dan Kepailitan, Korporasi, HAKI, Pertanahan, Persaingan Usaha, Ketenagakerjaan, Keuangan Islam

PARTNER PADA FIRMA HUKUM ISNP LAWFIRM

ISNP LAWFIRM. Office: Summarecon - Bekasi, Rukan Sinpansa Blok D.20, Marga Mulya - Bekasi Utara 17143, Tlp. 0812.9090.4694, WA. 0812.8309.0895

ANGGOTA PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA (PERADI)

Diangkat dan disumpah berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

KONSULTASI HUKUM DENGAN PERJANJIAN: 0812-8309-0895 (WA)

Legal Consultation, Legal Opinion, Legal Drafting, Legal Assistant (Retainer), Litigation

KONSULTASI HUKUM DENGAN PERJANJIAN: 0812-8309-0895 (WA)

Legal Consultation, Legal Opinion, Legal Drafting, Legal Assistant (Retainer), Litigation

Laman

Minggu, 18 Desember 2016

MAKAR (AANSLAG) DALAM KUHP

Yuk belajar sedikit tentang isu yang lagi hangat, Makar.

1. Kita mulai dari istilah makar secara bahasa: 1. Akal busuk; tipu muslihat. 2. Perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya; 3. Perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

2. Dari segi bahasa maka arti Makar kita tangkap memiliki arti yang negatif.

3. Dari segi peraturan Makar diatur pada KUHP pada BUKU KEDUA KEJAHATAN Bab I  Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Makar diatur pada pasal 104 s/d 110 KUHP.

4. Pasal 104 Makar itu dengan niat hendak: 1.Membunuh Presiden atau wakil Presiden; 2. Merampas kemerdekaan Presiden/wakil Presiden; 3. Menjadikan Presiden/wakil Presiden tiada cakap memerintah;

5. Pasal 104 terlihat jelas fokus untuk memberikan perlindungan kepada Presiden atau wakil Presiden sebagai institusi negara, bukan orangnya.

6. Bukan Makar jika yg dibunuh, dirampas kemerdekaannya, atau dijadikan tidak cakap memerintah selain Presiden atau wakil Presiden.

7. Bukan Makar jika pelaku ternyata tidak tahu bahwa yang dibunuh, dirampas kemerdekaannya, atau dibuat tidak cakap memerintah adalah Presiden/wakil Presiden

8. Selanjutnya Pasal 105 Dihapus dengan UU 1/1946. 

9. Pasal 106, dipidana: 1. Dengan niat hendak menaklukkan daerah negara sama sekali atau sebahagiannya kebawah pemerintahan asing; 2. Dengan maksud hendak memisahkan sebahagian dari daerah itu.

10. Jika 104 melindungi: Presiden atau wakil Presiden, 106 melindungi: Daerah negara dari kekuasaan pemerintahan asing & separatisme.

11. Jika maksud hendak memisahkan daerah negara itu tidak sebahagian tapi keseluruhan daerah negara, menurut hemat kami tdk masuk di Pasal 106.

12. Dengan maksud memisahkan keseluruhan daerah negara dapat berarti: 1. Menjadikan seluruh bagian-bagian pisah dan berdaulat masing-masinh, atau;  2. Seluruh bagian pisah secara wilayah utuh/keseluruhan dr negara RI kemudian mendirikan negara baru dengan wilayah keseluruhan sama dengan  wilayah RI sebelumnya.

13. Selanjutnya Pasal 107 ayat 1, dipidana: menggulingkan pemerintahan. 107 ayat 2, dipidana: Pemimpin dan pengatur penggulingan pemerintahan.

14. 107 ayat 1 untuk pelaku Makar lapangan 》paling lama 15 tahun. 107 ayat 2 untuk pimpinan dan pengatur Makar 》seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun.

15. Menggulingkan sendiri artinya: menjatuhkan; merobohkan; mengalahkan.

16. Menggulingkan pemerintahan sama dengan menjatuhkan pemerintahan sama dengan merobohkan pemerintahan.

17. Ahli ada pendapat menggulingkan sama dengan merusak susunan pemerintahan > meniadakan susunan pemerintahan yg lama diganti dengan yang baru, ex: Republik menjadi Kerajaan.

18 Sebenarnya tidak merusak yang lama tp mungkin lebih tepat tidak menggunakan susunan pemerintahan yang lama dan menggunakan susunan pemerintahan yang baru.

19. Menggulingkan "pemerintahan" dapat ditafsirkan dalam arti luas: sistem kenegaraan yang dianut dalam UUD dan dapat juga ditafsirkan dalam arti sempit: menggulingkan eksekutif in casu presiden sebagai pemegang kuasa pemerintahan dan menggantinya dengan yang baru.

20. Lanjut ke Pasal 108, dipidana: 1. Melawan dengan senjata kepada kekuasaan yang telah berdiri di Indonesia; 2. Dengan niat menentang kekuasaan yang telah  berdiri di Indonesia, melawan atau menggabungkan diri dengan gerombolan org bersenjata utk melawan kekuasaan itu;  3. Pemimpin atau pengatur pemberontakan.

21. 108 intinya melawan pemerintah berkuasa dengan bersenjata meskipun tidak berujung penggulingan pemerintah. Jika berujung penggulingan juga kena 107.

22. Menurut ahli disebut perlawanan dimaksud 108 jika: 1. Oleh orang banyak, terorganisir; 2. Bersenjata, kepada pemerintah yang berkuasa.

23. Kalau perlawanan bersenjata hanya oleh 1-2 orang maka bukan perlawanan bersenjata atau bukan pemberontakan.

24.Kalau perlawanan bersenjata oleh banyak orang dan terorganisir tapi bukan melawan pemerintah yang berkuasa maka bukan pemberontakan.

25. Terjerat pasal 108 ini walau pun hanya "bergabung" saja pada gerombolan bersenjata yang melawan kekuasaan pemerintahan, tanpa pegang senjata.

26. Lanjut Pasal 109: Dihapus dengan Statsblad 31/1930.

27. Pasal 110, dipidana permufakatan dimaksud: 104 (Pres/wkl Pres), 106 (kedaulatan negara), 107 (menggulingkan pemerintahan), 108 (pemberontakan).

28. Ancaman pidana 110 sama dgn kejahatan dimaksud 104, 106, 107, 108.

29. 88 KUHP, Dimaksud permufakatan: 2 orang atau lebih bermufakat melakukan kejahatan.

30. "Pemufakatan" secara bahasa: 1 perundingan; pembicaraan; musyawarah: ; 2 sesuatu yang disepakati; persetujuan.

31. Jadi meski baru perundingan atau pembicaraan saja yang belum mencapai sebuah "permufakatan" dimaksud 104, 106, 107, 108 》 dapat dijerat 110.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm.

Selasa, 29 November 2016

PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MK 69/PUU-XIII/2015



Perjanjian perkawinan diatur dalam UU Perkawinan Pasal 29 ayat (1) "Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut." 

Bahwa berdasarkan pasal 29 ayat 1 maka perjanjian perkawinan hanya dapat diajukan atau dibuat untuk kemudian disahkan pegawai pencatat perkawinan:

1. Pada waktu perkawinan dilangsungkan; atau
2. Sebelum perkawinan dilangsungkan.

Bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan tidak diakomodir oleh pasal 29 ayat 1 diatas.

Terkait Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, 27 Oktober 2016 memutuskan:

1.1. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”;

1.2. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”;

Adapun maksud dari amar putusan diatas singkatnya adalah:

1. Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2. "sepanjang tidak dimaknai" artinya Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan tidak bertentangan dan tetap mengikat jika dimaknai "Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

3.Artinya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi ini perjanjian perkawinan juga dapat dibuat "selama dalam ikatan perkawinan" yang dalam bahasa awam perjanjian perkawinan setelah putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat diajukan atau dibuat untuk kemudian disahkan pegawai pencatat perkawinan:
3.1. Pada waktu perkawinan.
3.2. Sebelum dilangsungkan perkawinan.
3.3. Setelah dilangsungkan perkawinan.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm. 

Sabtu, 26 November 2016

NOMINASI DAN REMUNERASI

Istilah nominasi dan remunerasi dapat kita temukan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 34/POJK.04/2014 Tentang Komite Nominasi Dan Remunerasi Emiten Atau Perusahaan Publik ("POJK Komite Nominasi dan Remunerasi").

Pada Pasal 2 ayat 1 ditentukan bahwa Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki fungsi Nominasi dan Remunerasi. Dengan demikian maka fungsi nominasi dan remunerasi wajib dimiliki oleh Emiten atau Perusahaan Publik.

Pengertian Nominasi dan Remunerasi

Pengertian Nominasi sendiri adalah pengusulan seseorang untuk diangkat dalam jabatan sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris. Sedangkan Remunerasi adalah imbalan yang ditetapkan dan diberikan kepada anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris karena kedudukan dan peran yang diberikan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenang anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris. 

Pelaksana Fungsi Nominasi Remunerasi: Dewan Komisaris

Pasal 2 ayat:
(2) Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh Dewan Komisaris.
(3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris dapat membentuk Komite Nominasi dan Remunerasi.
(4) Komite Nominasi dan Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibentuk secara terpisah.

BAHWA Kewajiban melaksanakan fungsi nominasi dan remunerasi dibebankan kepada Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik.

Untuk melaksanakan kewajiban fungsi nominasi dan remunerasi Dewan Komisaris tersebut dapat membentuk Komite Nominasi dan Remunerasi. Artinya diperbolehkan juga tidak membentuk Komite Nominasi dan Remunerasi sepanjang fungsi nominasi dan remunerasi dijalankan oleh Dewan Komisaris.

Dewan Komisaris dapat membentuk komite yang melaksanakan fungsi nominasi dan remunerasi hanya pada satu Komite Nominasi dan Remunerasi atau pun dapat membentuk 2 komite yang melaksanakan fungsi nominasi dan remunerasi secara terpisah: Komite Nominasi dan Komite Remunerasi.

Fungsi-Fungsi Nominasi Dan Remunerasi

Pasal 8 menyebutkan:
Komite Nominasi dan Remunerasi mempunyai tugas dan tanggung jawab paling kurang:
a. terkait dengan fungsi Nominasi:

1. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai:
a) komposisi jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris;
b) kebijakan dan kriteria yang dibutuhkan dalam proses Nominasi; dan
c) kebijakan evaluasi kinerja bagi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris;

2. membantu Dewan Komisaris melakukan penilaian kinerja anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris berdasarkan tolok ukur yang telah disusun sebagai bahan evaluasi;

3. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai program pengembangan kemampuan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; dan

4. memberikan usulan calon yang memenuhi syarat sebagai anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada RUPS.

b. terkait dengan fungsi Remunerasi:

1. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai:
a) struktur Remunerasi;
b) kebijakan atas Remunerasi; dan
c) besaran atas Remunerasi;

2. membantu Dewan Komisaris melakukan penilaian kinerja dengan kesesuaian Remunerasi yang diterima masing-masing anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris.

Dalam hal dibentuk Komite Nominasi dan Remunerasi maka hasil kerja sebagai bentuk pelaksanaan fungsi-fungsi diatas dibuat oleh Komite Nominasi dan Remunerasi untuk kemudian direkomendasikan kepada Dewan Komisaris. Namun, bila tidak dibentuk Komite Nominasi dan Remunerasi maka hasil kerja sebagai pelaksanaan fungsi-fungsi diatas dibuat oleh Dewan Komisaris dan dijalankan oleh Dewan Komisaris.

Minggu, 20 November 2016

SITA SAHAM BURSA EFEK

Gatot Supramono, SH., M.Hum., hakim karir yang pada 2013 menjabat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dalam bukunya "Transaksi Bisnis Saham & Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan" menerangkan bahwa penyitaan saham yang diperdagangkan di bursa efek berdasarkan penetapan sita yang diterbitkan hakim/ketua pengadilan. 

Juru sita melaksanakan sita dengan cara datang ke bursa efek. Pihak bursa efek memberikan/membuka informasi kepada juru sita supaya dapat melihat sendiri catatan saham milik tersita dan mencatat sejumlah saham yang disita. Saham yang disita dititipkan di bursa efek. 

Berita acara penyitaan ditandatangani oleh juru sita, tersita, saksi, wakil pemerintah setempat. Salinan berita acara penyitaan juga disampaikan kepada pihak bursa efek untuk digunakan sebagai dasar pemblokiran saham yang telah disita, supaya menjadi tidak aktif dalam perdagangan saham di bursa efek.

Berdasarkan Pasal 48 ayat (3) UU Pasar Modal emiten wajib melakukan pencatatan efek ke dalam penitipan kolektif apabila terdapat pihak yang meminta mutasi dengan memberikan bukti yang cukup bagi emiten.

Selasa, 28 Juni 2016

PENGERTIAN JUAL BELI DALAM KUH PERDATA

KUH Perdata memberikan definisi jual beli pada Pasal 1457 "Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan." Yang bila kita kuliti satu persatu pengertian tersebut menjadi:

1. Jual beli adalah persetujuan. Persetujuan antara para pihak yang terlibat didalamnya. Pihak yang satu setuju untuk menyerahkan barang dan pihak yang lain setuju untuk membayar harga. Tidak dapat hanya satu pihak saja yang setuju. Jika satu pihak saja yang setuju, misalnya untuk menyerahkan barang saja tanpa adanya pembayaran harga dari pihak yang satu maka yang terjadi adalah hibah bukan jual beli. Persetujuan bagi si penjual adalah ia menyetujui harga yang akan dibayar oleh si pembeli, sedangkan persetujuan bagi si pembeli adalah ia menyetujui barang yang akan diserahkan oleh si penjual kepadanya.

2. Terdapat pihak yang mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, disebut penjual. Si penjual mengikatkan dirinya kepada pihak lain yaitu si pembeli. "Menyerahkan suatu barang" maka secara redaksional tidak harus barang yang diserahkan itu adalah milik dari si penjual. Yang penting adalah barang itu akan diserahkan oleh penjual kepada pembeli. Barang dapat berupa benda bergerak, benda tidak bergerak, dan hak-hak.

3. Terdapat pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan, disebut pembeli. "Membayar harga" haruslah berupa uang bukan berupa yang lain. Tidak harus dalam mata uang rupiah, mata uang asing pun boleh. Jika berupa barang maka yang terjadi bukanlah jual beli melainkan tukar menukar barang.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm.

Minggu, 19 Juni 2016

ISTILAH HAK ISTIMEWA DALAM KUH PERDATA

Istilah hak istimewa disebut pada pasal-pasal KUH Perdata +/- 39 kali. 

Pengertian Hak Istimewa akan kita dapati pada Pasal 1134 KUH Perdata "Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya."

Dari definisi yang diberikan pasal diatas, hak istimewa:
1. Diberikan oleh UU kepada kreditur
2. Menyebabkan kedudukan kreditur penerima hak istimewa lebih tinggi dari pada (kreditur) yang lainnya semata2 berdasarkan sifat piutang itu
3. Kedudukannya dibawah gadai dan hipotik
4. Kedudukannya dapat lebih tinggi dari gadai dan hipotik dalam hal UU dengan tegas menentukan demikian.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm. 

Jumat, 11 Maret 2016

PERMA 1/2016: PARA PIHAK WAJIB MENGHADIRI PERTEMUAN MEDIASI

Pada bulan Februari 2016 Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan kehakiman menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan ("Perma Mediasi").

Salah satu ketentuan yang cukup penting adalah perihal kewajiban kehadiran para pihak atau prinsipal dalam pertemuan mediasi. 

Pasal 6 ayat (1) "Para Pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum." Ketentuan ini tegas mewajibkan para pihak atau prinsipal, baik penggugat maupun tergugat untuk menghadiri langsung pertemuan mediasi, tidak mempermasalahkan apakah kuasa hukum ikut mendampingi atau tidak ikut mendampingi prinsipal dalam pertemuan mediasi. 

Berbeda dengan Perma Mediasi sebelumnya yaitu Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan yang tidak kita dapati secara redaksional kewajiban bagi Para Pihak atau Prinsipal untuk menghadiri secara langsung pertemuan mediasi.

Pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 "Hakim, Mediator, dan Para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini." Jadi secara redaksional kewajiban untuk "mengikuti prosedur mediasi" yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008 bukan untuk menghadiri secara langsung pertemuan mediasi.

Pasal 7 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2008 "Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi."

Pasal 7 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 "Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak mendorong para pihak, untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi." Pada pasal ini juga tidak terdapat redaksional yang tegas bagi para pihak untuk hadir secara langsung dalam pertemuan mediasi, hanya berupa dorongan dari hakim, itu pun mendorongnya bisa hanya melalui perantara kuasa hukum untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi, jadi titik tekannya pada peran dan keaktifan bukan pada kehadiran pada pertemuan mediasi. 

Begitu pula bunyi Pasal 7 ayat (3) yang kurang lebih sama yang mewajibkan kuasa hukum untuk mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.

Pada Perma Mediasi diatur bahwa ketidakhadiran merupakan salah satu sebab yang dapat mengakibatkan pihak yang tidak hadir dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi oleh mediator.

Dalam hal penggugat dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi maka oleh hakim pemeriksa perkara gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima dan biaya mediasi dibebankan kepada penggugat (vide pasal 22 Perma Mediasi).

Dalam hal tergugat yang dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi maka dalam hal gugatan dimenangkan oleh penggugat maka biaya mediasi dibebankan kepada tergugat. Apabila gugatan dimenangkan oleh Tergugat maka biaya mediasi juga dibebankan kepada tergugat sedangkan biaya perkara dibebankan kepada penggugat. (vide Pasal 23 Perma Mediasi)

Dalam hal Para Pihak secara bersama-sama (penggugat dan tergugat) dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara tanpa penghukuman Biaya Mediasi. (vide Pasal 23 Perma Mediasi)