SELAMAT DATANG DI PERSONAL BLOG ASEVY SOBARI

PKPU dan Kepailitan, Korporasi, HAKI, Pertanahan, Persaingan Usaha, Ketenagakerjaan, Keuangan Islam

PARTNER PADA FIRMA HUKUM ISNP LAWFIRM

ISNP LAWFIRM. Office: Summarecon - Bekasi, Rukan Sinpansa Blok D.20, Marga Mulya - Bekasi Utara 17143, Tlp. 0812.9090.4694, WA. 0812.8309.0895

ANGGOTA PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA (PERADI)

Diangkat dan disumpah berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

KONSULTASI HUKUM DENGAN PERJANJIAN: 0812-8309-0895 (WA)

Legal Consultation, Legal Opinion, Legal Drafting, Legal Assistant (Retainer), Litigation

KONSULTASI HUKUM DENGAN PERJANJIAN: 0812-8309-0895 (WA)

Legal Consultation, Legal Opinion, Legal Drafting, Legal Assistant (Retainer), Litigation

Laman

Minggu, 18 Desember 2016

MAKAR (AANSLAG) DALAM KUHP

Yuk belajar sedikit tentang isu yang lagi hangat, Makar.

1. Kita mulai dari istilah makar secara bahasa: 1. Akal busuk; tipu muslihat. 2. Perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya; 3. Perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

2. Dari segi bahasa maka arti Makar kita tangkap memiliki arti yang negatif.

3. Dari segi peraturan Makar diatur pada KUHP pada BUKU KEDUA KEJAHATAN Bab I  Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Makar diatur pada pasal 104 s/d 110 KUHP.

4. Pasal 104 Makar itu dengan niat hendak: 1.Membunuh Presiden atau wakil Presiden; 2. Merampas kemerdekaan Presiden/wakil Presiden; 3. Menjadikan Presiden/wakil Presiden tiada cakap memerintah;

5. Pasal 104 terlihat jelas fokus untuk memberikan perlindungan kepada Presiden atau wakil Presiden sebagai institusi negara, bukan orangnya.

6. Bukan Makar jika yg dibunuh, dirampas kemerdekaannya, atau dijadikan tidak cakap memerintah selain Presiden atau wakil Presiden.

7. Bukan Makar jika pelaku ternyata tidak tahu bahwa yang dibunuh, dirampas kemerdekaannya, atau dibuat tidak cakap memerintah adalah Presiden/wakil Presiden

8. Selanjutnya Pasal 105 Dihapus dengan UU 1/1946. 

9. Pasal 106, dipidana: 1. Dengan niat hendak menaklukkan daerah negara sama sekali atau sebahagiannya kebawah pemerintahan asing; 2. Dengan maksud hendak memisahkan sebahagian dari daerah itu.

10. Jika 104 melindungi: Presiden atau wakil Presiden, 106 melindungi: Daerah negara dari kekuasaan pemerintahan asing & separatisme.

11. Jika maksud hendak memisahkan daerah negara itu tidak sebahagian tapi keseluruhan daerah negara, menurut hemat kami tdk masuk di Pasal 106.

12. Dengan maksud memisahkan keseluruhan daerah negara dapat berarti: 1. Menjadikan seluruh bagian-bagian pisah dan berdaulat masing-masinh, atau;  2. Seluruh bagian pisah secara wilayah utuh/keseluruhan dr negara RI kemudian mendirikan negara baru dengan wilayah keseluruhan sama dengan  wilayah RI sebelumnya.

13. Selanjutnya Pasal 107 ayat 1, dipidana: menggulingkan pemerintahan. 107 ayat 2, dipidana: Pemimpin dan pengatur penggulingan pemerintahan.

14. 107 ayat 1 untuk pelaku Makar lapangan 》paling lama 15 tahun. 107 ayat 2 untuk pimpinan dan pengatur Makar 》seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun.

15. Menggulingkan sendiri artinya: menjatuhkan; merobohkan; mengalahkan.

16. Menggulingkan pemerintahan sama dengan menjatuhkan pemerintahan sama dengan merobohkan pemerintahan.

17. Ahli ada pendapat menggulingkan sama dengan merusak susunan pemerintahan > meniadakan susunan pemerintahan yg lama diganti dengan yang baru, ex: Republik menjadi Kerajaan.

18 Sebenarnya tidak merusak yang lama tp mungkin lebih tepat tidak menggunakan susunan pemerintahan yang lama dan menggunakan susunan pemerintahan yang baru.

19. Menggulingkan "pemerintahan" dapat ditafsirkan dalam arti luas: sistem kenegaraan yang dianut dalam UUD dan dapat juga ditafsirkan dalam arti sempit: menggulingkan eksekutif in casu presiden sebagai pemegang kuasa pemerintahan dan menggantinya dengan yang baru.

20. Lanjut ke Pasal 108, dipidana: 1. Melawan dengan senjata kepada kekuasaan yang telah berdiri di Indonesia; 2. Dengan niat menentang kekuasaan yang telah  berdiri di Indonesia, melawan atau menggabungkan diri dengan gerombolan org bersenjata utk melawan kekuasaan itu;  3. Pemimpin atau pengatur pemberontakan.

21. 108 intinya melawan pemerintah berkuasa dengan bersenjata meskipun tidak berujung penggulingan pemerintah. Jika berujung penggulingan juga kena 107.

22. Menurut ahli disebut perlawanan dimaksud 108 jika: 1. Oleh orang banyak, terorganisir; 2. Bersenjata, kepada pemerintah yang berkuasa.

23. Kalau perlawanan bersenjata hanya oleh 1-2 orang maka bukan perlawanan bersenjata atau bukan pemberontakan.

24.Kalau perlawanan bersenjata oleh banyak orang dan terorganisir tapi bukan melawan pemerintah yang berkuasa maka bukan pemberontakan.

25. Terjerat pasal 108 ini walau pun hanya "bergabung" saja pada gerombolan bersenjata yang melawan kekuasaan pemerintahan, tanpa pegang senjata.

26. Lanjut Pasal 109: Dihapus dengan Statsblad 31/1930.

27. Pasal 110, dipidana permufakatan dimaksud: 104 (Pres/wkl Pres), 106 (kedaulatan negara), 107 (menggulingkan pemerintahan), 108 (pemberontakan).

28. Ancaman pidana 110 sama dgn kejahatan dimaksud 104, 106, 107, 108.

29. 88 KUHP, Dimaksud permufakatan: 2 orang atau lebih bermufakat melakukan kejahatan.

30. "Pemufakatan" secara bahasa: 1 perundingan; pembicaraan; musyawarah: ; 2 sesuatu yang disepakati; persetujuan.

31. Jadi meski baru perundingan atau pembicaraan saja yang belum mencapai sebuah "permufakatan" dimaksud 104, 106, 107, 108 》 dapat dijerat 110.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm.

Selasa, 29 November 2016

PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MK 69/PUU-XIII/2015



Perjanjian perkawinan diatur dalam UU Perkawinan Pasal 29 ayat (1) "Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut." 

Bahwa berdasarkan pasal 29 ayat 1 maka perjanjian perkawinan hanya dapat diajukan atau dibuat untuk kemudian disahkan pegawai pencatat perkawinan:

1. Pada waktu perkawinan dilangsungkan; atau
2. Sebelum perkawinan dilangsungkan.

Bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan tidak diakomodir oleh pasal 29 ayat 1 diatas.

Terkait Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, 27 Oktober 2016 memutuskan:

1.1. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”;

1.2. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”;

Adapun maksud dari amar putusan diatas singkatnya adalah:

1. Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2. "sepanjang tidak dimaknai" artinya Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan tidak bertentangan dan tetap mengikat jika dimaknai "Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

3.Artinya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi ini perjanjian perkawinan juga dapat dibuat "selama dalam ikatan perkawinan" yang dalam bahasa awam perjanjian perkawinan setelah putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat diajukan atau dibuat untuk kemudian disahkan pegawai pencatat perkawinan:
3.1. Pada waktu perkawinan.
3.2. Sebelum dilangsungkan perkawinan.
3.3. Setelah dilangsungkan perkawinan.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm. 

Sabtu, 26 November 2016

NOMINASI DAN REMUNERASI

Istilah nominasi dan remunerasi dapat kita temukan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 34/POJK.04/2014 Tentang Komite Nominasi Dan Remunerasi Emiten Atau Perusahaan Publik ("POJK Komite Nominasi dan Remunerasi").

Pada Pasal 2 ayat 1 ditentukan bahwa Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki fungsi Nominasi dan Remunerasi. Dengan demikian maka fungsi nominasi dan remunerasi wajib dimiliki oleh Emiten atau Perusahaan Publik.

Pengertian Nominasi dan Remunerasi

Pengertian Nominasi sendiri adalah pengusulan seseorang untuk diangkat dalam jabatan sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris. Sedangkan Remunerasi adalah imbalan yang ditetapkan dan diberikan kepada anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris karena kedudukan dan peran yang diberikan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenang anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris. 

Pelaksana Fungsi Nominasi Remunerasi: Dewan Komisaris

Pasal 2 ayat:
(2) Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh Dewan Komisaris.
(3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris dapat membentuk Komite Nominasi dan Remunerasi.
(4) Komite Nominasi dan Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibentuk secara terpisah.

BAHWA Kewajiban melaksanakan fungsi nominasi dan remunerasi dibebankan kepada Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik.

Untuk melaksanakan kewajiban fungsi nominasi dan remunerasi Dewan Komisaris tersebut dapat membentuk Komite Nominasi dan Remunerasi. Artinya diperbolehkan juga tidak membentuk Komite Nominasi dan Remunerasi sepanjang fungsi nominasi dan remunerasi dijalankan oleh Dewan Komisaris.

Dewan Komisaris dapat membentuk komite yang melaksanakan fungsi nominasi dan remunerasi hanya pada satu Komite Nominasi dan Remunerasi atau pun dapat membentuk 2 komite yang melaksanakan fungsi nominasi dan remunerasi secara terpisah: Komite Nominasi dan Komite Remunerasi.

Fungsi-Fungsi Nominasi Dan Remunerasi

Pasal 8 menyebutkan:
Komite Nominasi dan Remunerasi mempunyai tugas dan tanggung jawab paling kurang:
a. terkait dengan fungsi Nominasi:

1. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai:
a) komposisi jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris;
b) kebijakan dan kriteria yang dibutuhkan dalam proses Nominasi; dan
c) kebijakan evaluasi kinerja bagi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris;

2. membantu Dewan Komisaris melakukan penilaian kinerja anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris berdasarkan tolok ukur yang telah disusun sebagai bahan evaluasi;

3. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai program pengembangan kemampuan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; dan

4. memberikan usulan calon yang memenuhi syarat sebagai anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada RUPS.

b. terkait dengan fungsi Remunerasi:

1. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai:
a) struktur Remunerasi;
b) kebijakan atas Remunerasi; dan
c) besaran atas Remunerasi;

2. membantu Dewan Komisaris melakukan penilaian kinerja dengan kesesuaian Remunerasi yang diterima masing-masing anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris.

Dalam hal dibentuk Komite Nominasi dan Remunerasi maka hasil kerja sebagai bentuk pelaksanaan fungsi-fungsi diatas dibuat oleh Komite Nominasi dan Remunerasi untuk kemudian direkomendasikan kepada Dewan Komisaris. Namun, bila tidak dibentuk Komite Nominasi dan Remunerasi maka hasil kerja sebagai pelaksanaan fungsi-fungsi diatas dibuat oleh Dewan Komisaris dan dijalankan oleh Dewan Komisaris.

Minggu, 20 November 2016

SITA SAHAM BURSA EFEK

Gatot Supramono, SH., M.Hum., hakim karir yang pada 2013 menjabat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dalam bukunya "Transaksi Bisnis Saham & Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan" menerangkan bahwa penyitaan saham yang diperdagangkan di bursa efek berdasarkan penetapan sita yang diterbitkan hakim/ketua pengadilan. 

Juru sita melaksanakan sita dengan cara datang ke bursa efek. Pihak bursa efek memberikan/membuka informasi kepada juru sita supaya dapat melihat sendiri catatan saham milik tersita dan mencatat sejumlah saham yang disita. Saham yang disita dititipkan di bursa efek. 

Berita acara penyitaan ditandatangani oleh juru sita, tersita, saksi, wakil pemerintah setempat. Salinan berita acara penyitaan juga disampaikan kepada pihak bursa efek untuk digunakan sebagai dasar pemblokiran saham yang telah disita, supaya menjadi tidak aktif dalam perdagangan saham di bursa efek.

Berdasarkan Pasal 48 ayat (3) UU Pasar Modal emiten wajib melakukan pencatatan efek ke dalam penitipan kolektif apabila terdapat pihak yang meminta mutasi dengan memberikan bukti yang cukup bagi emiten.

Selasa, 28 Juni 2016

PENGERTIAN JUAL BELI DALAM KUH PERDATA

KUH Perdata memberikan definisi jual beli pada Pasal 1457 "Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan." Yang bila kita kuliti satu persatu pengertian tersebut menjadi:

1. Jual beli adalah persetujuan. Persetujuan antara para pihak yang terlibat didalamnya. Pihak yang satu setuju untuk menyerahkan barang dan pihak yang lain setuju untuk membayar harga. Tidak dapat hanya satu pihak saja yang setuju. Jika satu pihak saja yang setuju, misalnya untuk menyerahkan barang saja tanpa adanya pembayaran harga dari pihak yang satu maka yang terjadi adalah hibah bukan jual beli. Persetujuan bagi si penjual adalah ia menyetujui harga yang akan dibayar oleh si pembeli, sedangkan persetujuan bagi si pembeli adalah ia menyetujui barang yang akan diserahkan oleh si penjual kepadanya.

2. Terdapat pihak yang mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, disebut penjual. Si penjual mengikatkan dirinya kepada pihak lain yaitu si pembeli. "Menyerahkan suatu barang" maka secara redaksional tidak harus barang yang diserahkan itu adalah milik dari si penjual. Yang penting adalah barang itu akan diserahkan oleh penjual kepada pembeli. Barang dapat berupa benda bergerak, benda tidak bergerak, dan hak-hak.

3. Terdapat pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan, disebut pembeli. "Membayar harga" haruslah berupa uang bukan berupa yang lain. Tidak harus dalam mata uang rupiah, mata uang asing pun boleh. Jika berupa barang maka yang terjadi bukanlah jual beli melainkan tukar menukar barang.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm.

Minggu, 19 Juni 2016

ISTILAH HAK ISTIMEWA DALAM KUH PERDATA

Istilah hak istimewa disebut pada pasal-pasal KUH Perdata +/- 39 kali. 

Pengertian Hak Istimewa akan kita dapati pada Pasal 1134 KUH Perdata "Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya."

Dari definisi yang diberikan pasal diatas, hak istimewa:
1. Diberikan oleh UU kepada kreditur
2. Menyebabkan kedudukan kreditur penerima hak istimewa lebih tinggi dari pada (kreditur) yang lainnya semata2 berdasarkan sifat piutang itu
3. Kedudukannya dibawah gadai dan hipotik
4. Kedudukannya dapat lebih tinggi dari gadai dan hipotik dalam hal UU dengan tegas menentukan demikian.


--- Disusun oleh Asevy Sobari, Partner ISNP Law Firm. 

Jumat, 11 Maret 2016

PERMA 1/2016: PARA PIHAK WAJIB MENGHADIRI PERTEMUAN MEDIASI

Pada bulan Februari 2016 Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan kehakiman menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan ("Perma Mediasi").

Salah satu ketentuan yang cukup penting adalah perihal kewajiban kehadiran para pihak atau prinsipal dalam pertemuan mediasi. 

Pasal 6 ayat (1) "Para Pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum." Ketentuan ini tegas mewajibkan para pihak atau prinsipal, baik penggugat maupun tergugat untuk menghadiri langsung pertemuan mediasi, tidak mempermasalahkan apakah kuasa hukum ikut mendampingi atau tidak ikut mendampingi prinsipal dalam pertemuan mediasi. 

Berbeda dengan Perma Mediasi sebelumnya yaitu Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan yang tidak kita dapati secara redaksional kewajiban bagi Para Pihak atau Prinsipal untuk menghadiri secara langsung pertemuan mediasi.

Pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 "Hakim, Mediator, dan Para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini." Jadi secara redaksional kewajiban untuk "mengikuti prosedur mediasi" yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008 bukan untuk menghadiri secara langsung pertemuan mediasi.

Pasal 7 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2008 "Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi."

Pasal 7 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 "Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak mendorong para pihak, untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi." Pada pasal ini juga tidak terdapat redaksional yang tegas bagi para pihak untuk hadir secara langsung dalam pertemuan mediasi, hanya berupa dorongan dari hakim, itu pun mendorongnya bisa hanya melalui perantara kuasa hukum untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi, jadi titik tekannya pada peran dan keaktifan bukan pada kehadiran pada pertemuan mediasi. 

Begitu pula bunyi Pasal 7 ayat (3) yang kurang lebih sama yang mewajibkan kuasa hukum untuk mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.

Pada Perma Mediasi diatur bahwa ketidakhadiran merupakan salah satu sebab yang dapat mengakibatkan pihak yang tidak hadir dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi oleh mediator.

Dalam hal penggugat dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi maka oleh hakim pemeriksa perkara gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima dan biaya mediasi dibebankan kepada penggugat (vide pasal 22 Perma Mediasi).

Dalam hal tergugat yang dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi maka dalam hal gugatan dimenangkan oleh penggugat maka biaya mediasi dibebankan kepada tergugat. Apabila gugatan dimenangkan oleh Tergugat maka biaya mediasi juga dibebankan kepada tergugat sedangkan biaya perkara dibebankan kepada penggugat. (vide Pasal 23 Perma Mediasi)

Dalam hal Para Pihak secara bersama-sama (penggugat dan tergugat) dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara tanpa penghukuman Biaya Mediasi. (vide Pasal 23 Perma Mediasi)

Sabtu, 01 November 2014

PUTUSNYA PERKAWINAN

Putusnya perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada pasal 38 yang berbunyi:
"Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan".

Secara sederhana putus artinya tidak tersambung lagi atau tidak ada hubungan lagi dari yang sebelumnya tersambung atau terhubung. Dalam konteks perkawinan maka putusnya perkawinan artinya tali perkawinan telah tidak tersambung lagi atau tidak terhubung lagi, singkatnya hubungan suami dan istri telah berakhir.

Bunyi pasal 38 UU Perkawinan diatas menerangkan dan menentukan hal-hal apa saja  yang dapat atau bisa menyebabkan putusnya perkawinan, yakni: karena kematian, karena perceraian, dan karena putusan pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian terjadi karena salah satu pihak dalam perkawinan meninggal dunia apakah itu suami atau istri, mana yang lebih dulu atau pun para pihak suami dan istri secara bersamaan meninggal dunia.

Putusnya perkawinan karena kematian merupakan kejadian yang berada diluar kehendak atau kuasa dari para pihak dalam perkawinan. Tidak terdapat campur tangan dari pasangan yang hidup lebih lama ataupun campur tangan pengadilan dalam hal ini. Putusnya perkawinan karena kematian sepenuhnya merupakan kehendak atau kuasa dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Putusnya perkawinan karena kematian lazim disebut dalam masyarakat kita dengan istilah cerai mati.

Selanjutnya putusnya perkawinan dapat disebabkan karena adanya perceraian. Berdasarkan UU Perkawinan tersebut maka perceraian hanyalah salah satu penyebab putusnya perkawinan, bukan satu-satunya penyebab putusnya perkawinan.

Biasanya dalam masyarakat putusnya perkawinan karena perceraian akan lebih mendapatkan perhatian dibandingkan meninggalnya salah satu pihak atau para pihak sebagai sebab putusnya perkawinan.

Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi baik atas keinginan suami atau istri. Ini artinya baik suami atau istri memiliki hak yang sama dalam mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan yang berwenang mengadili, memeriksa dan memutus gugatan perceraian tersebut.

Apabila gugatan perceraian telah diajukan oleh suami atau istri ke pengadilan yang berwenang, maka selanjutnya pengadilanlah yang berwenang memeriksa dan memutus apakah gugatan tersebut cukup beralasan untuk dikabulkan atau tidak.

Yang terakhir penyebab putusnya perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan adalah karena putusan pengadilan. Apa yang dimaksud dengan "atas putusan pengadilan" itu sendiri tidak kita temui penjelasannya dalam UU Perkawinan atau pun pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975). Hal ini tentu saja membingungkan. Mengapa? Karena bukankah dalam frasa "atas putusan pengadilan" sudah pula meliputi perceraian yang memang dengan putusan pengadilan.

Ada pula yang mencoba menafsirkan "atas putusan pengadilan" dimaksud adalah pembatalan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat 1 UU Perkawinan  yang berbunyi "Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan" dan pasal 38 PP 9/1975 yang berbunyi "Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan". Walaupun jika kita perhatikan agak kurang tepat jika kita bandingkan pengertian putusnya perkawinan dengan batalnya perkawinan. Karena pada putusnya perkawinan setelah putusan putusnya perkawinan maka perkawinan yang telah terjadi sebelum putusan tetap dianggap secara sah telah terjadi sementara pada batalnya perkawinan setelah putusan pengadilan maka perkawinan yang terjadi sebelumnya dianggap batal atau tidak pernah terjadi.

Selanjutnya jika memang tafsiran "atas putusan pengadilan" dimaksud adalah batalnya perkawinan lalu mengapa pasal 38 UU Perkawinan tidak dengan tegas-tegas saja menggunakan frasa batalnya perkawinan sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan dibanding menggunakan frasa atas putusan pengadilan?

Selasa, 19 Agustus 2014

PENITIPAN BARANG

Tulisan kali ini akan mengupas sedikit tentang Pasal 1694 KUHPerdata tentang Penitipan Barang.

Pasal 1694 KUHPerdata "Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama."

Point yang dapat kita ambil dari Pasal 1694 KUHPerdata diatas:
  1. Penitipan Barang baru terjadi bila calon penerima titipan setuju untuk dititipi barang. Tanpa persetujuan dari penerima titipan maka penitipan barang tidak terjadi. Karena dgn ada/tdk nya persetujuan sama dgn ada/tidaknya beban tanggung jawab penerima titipan terhadap pemberi titipan.
  2. “barang” yang dititipkan kepada penerima titipan adalah milik orang lain. Milik orang lain dapat berarti milik si pemberi titipan atau bisa juga milik pihak ketiga (selain dari si pemberi titipan). Pastinya barang yang dititipkan bukan milik si penerima titipan. Kalau milik si penerima titipan itu namanya mengembalikan barang bukan menitipkan barang.
  3. Barang titipan untuk disimpan oleh penerima titipan. Tidak untuk dipakai.
  4. Barang titipan dikembalikan dalam keadaan yang sama kepada pemberi titipan sebagaimana kondisi saat barang titipan diterima. Dapat juga barang titipan tidak dikembalikan ke si pemberi titipan semula tetapi kepada kuasa/wakil si pemberi titipan asalkan hal tersebut diperjanjikan secara jelas sebelumnya.

Pasal 1695 KUHPerdata “Ada 2 (dua) jenis penitipan barang yaitu: penitipan murni (sejati) dan sekestrasi (penitipan dalam perselisihan).” Seolah-olah ada penitipan yg murni dan ada penitipan yang tdk murni. Ada penitipan yang sejati dan penitipan tidak sejati.

Penitipan murni dianggap Cuma-Cuma bila tidak diperjanjikan sebaliknya dan hanya untuk barang bergerak. Jadi bila si pemberi titipan dan si penerima titipan tidak ada pembicaraan dan kesepakatan perihal “biaya” maka penitipan tersebut adalah Cuma-Cuma atau tanpa biaya.

Penitipan Sekestrasi: 

  1. Penitipan barang yang berada dalam persengketaan kepada orang lain
  2. Orang lain yang dititipkan tersebut mengikatkan diri untuk mengembalikan barang itu dengan semua hasilnya kepada yang berhak. 
  3. Barang dikembalikan kepada yang berhak setelah perselisihan diputus oleh Pengadilan. 
  4. Penitipan ini terjadi karena perjanjian atau karena perintah Hakim.

Penitipan Sekestrasi untuk barang bergerak dan barang tidak bergerak. Penitipan murni untuk barang bergerak saja.

Penitipan Sekestrasi terjadi karena perjanjian atau karena perintah hakim. Penitipan murni adalah karena perjanjian saja.

Perjanjian maksudnya:

  1. Pada Penitipan Murni: Antara si pemberi titipan dengan si penerima titipan.
  2. Pada Penitipan Sekestrasi: antara pihak yang bersengketa dengan si penerima titipan yang disepakati pihak yang bersengketa.

Jadi dalam Penitipan Sekestrasi karena perjanjian si pemberi titipan adalah pihak yang bersengketa.

Penitipan karena perintah hakim hanya dikenal dalam Penitipan sekestrasi tidak dalam penitipan murni. Repot juga ya jika ada penitipan murni karena hakim?

Repot juga bila ingin menitipkan mobil/motor harus ada hakim/penetapan hakim.

Minggu, 17 Agustus 2014

PENAMBAHAN MODAL DASAR

Pengaturan secara umum tentang penambahan modal perseroan terdapat pada Pasal 41 ayat 1 UUPT yang menyatakan "Penambahan modal Perseroan dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS."

"Penambahan modal..." dimaksud adalah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Dengan demikian apabila perseroan ingin melakukan penambahan modal, dalam hal ini adalah penambahan modal dasar maka terlebih dahulu disetujui oleh forum RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).

Selanjutnya secara khusus Pasal 42 ayat 1 UUPT mengatur perihal sah tidaknya keputusan RUPS untuk penambahan modal dasar "Keputusan RUPS untuk penambahan modal dasar adalah sah apabila dilakukan dengan memperhatikan persyaratan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar."

Berapakah "persyaratan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar" dalam rangka penambahan modal dasar?

Untuk menjawab pertanyaan diatas kita harus melihat Pasal 88 ayat 1 UUPT "RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar."

Dari Pasal 88 ayat 1 UUPT diatas kita dapati:
1. Kuorum kehadiran RUPS dalam rangka penambahan modal dasar ditentukan "paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili";
2. Keputusan RUPS untuk menyetujui penambahan modal dasar "adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan";
3. Anggaran dasar dapat menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Artinya UUPT menentukan batas minimal yang harus dipenuhi dan anggaran dasar perseroan dapat mengatur lebih dari batas minimal yang terdapat dalam UUPT. Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud pada 88 ayat 1 UUPT diatas tidak tercapai, dapat diselenggarakan RUPS kedua ~ vide Pasal 88 ayat 2 UUPT.

Perubahan anggaran dasar dalam rangka Penambahan Modal dasar merupakan hal yang harus mendapatkan persetujuan menteri, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UUPT.

Pasal 21 ayat 1 UUPT "Perubahan anggaran dasar tertentu harus mendapat persetujuan Menteri."

Pasal 21 ayat 2 UUPT "Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 

a. nama Perseroan dan/atau tempat kedudukan Perseroan; 

b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; 

c. jangka waktu berdirinya Perseroan; 

d. besarnya modal dasar

e. pengurangan modal ditempatkan dan disetor; dan/atau 

f. status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya."


Selanjutnya pada Pasal 33 ayat 1 UUPT "Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh." Terkait dengan penambahan modal dasar maka dalam hal modal dasar perseroan sebelumnya adalah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan setelah dilakukan penambahan modal dasar menjadi Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) maka berdasarkan Pasal 31 ayat 1 UUPT modal ditempatkan dan disetor penuh yg sebelumnya Rp 12.500.000,- (25% dari Rp 50.000.000,-) setelah dilakukan penambahan modal dasar menjadi Rp 25.000.000,- (25% dari Rp 100.000.000,-). Jadi pemegang saham tinggal menyetor penuh Rp 12.500.000,- lagi untuk memenuhi Pasal 33 ayat 1 UUPT.

Yang perlu diperhatikan adalah terjadinya penambahan modal ditempatkan dan modal disetor disini adalah dalam rangka perubahan penambahan modal dasar bukan penambahan modal ditempatkan dan disetor penuh yang dilakukan tanpa perubahan penambahan modal dasar. Jadi penambahan modal ditempatkan dan disetor penuh disini adalah untuk memenuhi ketentuan minimal UUPT.

Dalam hal penambahan modal ditempatkan dan disetor penuh yang dilakukan tanpa perubahan penambahan modal dasar adalah untuk memenuhi keputusan RUPS bukan untuk memenuhi ketentuan minimal UUPT (karena ketentuan minimal telah/sudah terpenuhi).

Dan ketentuan kuorum dan keputusan RUPS dalam rangka penambahan modal ditempatkan dan disetor penuh yang dilakukan tanpa perubahan penambahan modal dasar adalah sebagaimana Pasal 42 ayat 2 UUPT "Keputusan RUPS untuk penambahan modal ditempatkan dan disetor dalam batas modal dasar adalah sah apabila dilakukan dengan kuorum kehadiran lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari seluruh jumlah saham dengan hak suara dan disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh suara yang dikeluarkan, kecuali ditentukan lebih besar dalam anggaran dasar."